Makedonia (kerajaan kuno)
Makedonia Μακεδονία | |||||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
808 SM–168 SM | |||||||||||||||
Makedonia pada tahun 336 SM (warna jingga) | |||||||||||||||
Ibu kota | Aigai (Vergina)[1] (808–399 SM) Pela[2] (399–167 SM) | ||||||||||||||
Bahasa yang umum digunakan | Makedonia Kuno Yunani Atika Yunani Koine | ||||||||||||||
Agama | Politeisme Yunani | ||||||||||||||
Pemerintahan | Monarki | ||||||||||||||
Raja (Basileus) | |||||||||||||||
• 808 SM–778 SM | Karanos | ||||||||||||||
• 179 SM–168 SM | Perseus | ||||||||||||||
Legislatif | Sinedrion | ||||||||||||||
Era Sejarah | Abad Kuno | ||||||||||||||
• Didirikan oleh Karanos | 808 SM | ||||||||||||||
512/511–493 SM | |||||||||||||||
• Menjadi wilayah Persia[3] | 492–479 SM | ||||||||||||||
359–336 SM | |||||||||||||||
335–323 SM | |||||||||||||||
323 SM | |||||||||||||||
322–275 SM | |||||||||||||||
168 SM | |||||||||||||||
Mata uang | Tetradrakhma | ||||||||||||||
Kode ISO 3166 | MK | ||||||||||||||
| |||||||||||||||
Makedonia atau Makedon (bahasa Yunani: Μακεδονία, Makedonía)[4] adalah sebuah kerajaan kuno yang terletak di pinggiran Yunani pada masa Arkais dan Klasik,[5] dan kemudian menjadi negara yang dominan di Yunani pada masa Helenistik.[6] Kerajaan ini dibentuk oleh Dinasti Argeadai, tetapi dalam sejarahnya juga pernah dikuasai oleh Dinasti Antipatridai dan Antigonidai. Kerajaan tempat tinggal orang Makedonia Kuno ini mula-mula berpusat di bagian timur laut Semenanjung Yunani,[7] yang berbatasan dengan Epiros di barat, Paionia di utara, Trakia di timur, dan Tesalia di selatan.
Sebelum abad ke-4 SM, Makedonia merupakan sebuah kerajaan kecil di luar wilayah yang didominasi oleh negara kota besar seperti Atena, Sparta, dan Tivai, dan Makedonia juga sempat tunduk kepada Akemeniyah (Persia).[3] Nasib Makedonia berubah pada masa pemerintahan seorang raja Argeadai yang bernama Filipos II (m. 359 SM – 336 SM). Filipos II mereformasi militer Makedonia salah satunya dengan memperkenalkan formasi falangs Makedonia yang dipersenjatai dengan tembiang sarissa, dan berkat reformasi ini ia dapat mengalahkan Atena dan Tivai dalam Pertempuran Kaironeia pada 338 SM. Salah satu putra Filipos II yang dikenal dengan julukan Aleksander Agung melanjutkan upaya ayahnya untuk menguasai seluruh Yunani dan ia menghancurkan kota Tivai setelah kota tersebut mencoba memberontak. Aleksander lalu berhasil menjatuhkan Kekaisaran Akemeniyah dan menaklukkan wilayah yang terbentang hingga ke Sungai Indus. Semenjak itu, seni dan sastra Yunani berkembang di wilayah-wilayah yang telah ditaklukkan, dan kemajuan dalam bidang filsafat, teknik, dan sains pun menyebar di wilayah-wilayah tersebut.
Setelah kematian Aleksander Agung pada tahun 323 SM, Perang Diadokhoi meletus akibat perebutan kekuasaan yang melibatkan para jenderal yang dahulu berperang bersama Aleksander, dan kemudian wilayah yang telah ditaklukan pun dibagi-bagi. Hal tersebut tidak membuat Makedonia kehilangan status sebagai pusat kebudayaan dan politik Yunani di kawasan Mediterania bersama dengan Mesir Ptolemaik, Kekaisaran Seleukia, dan Kerajaan Pergamon. Makedonia mulai mengalami kemunduran setelah meletusnya Peperangan Makedonia dan kebangkitan Romawi sebagai negara terkuat di kawasan Mediterania. Sesudah kemenangan Romawi dalam Perang Makedonia Ketiga pada tahun 168 SM, monarki Makedonia dibubarkan dan digantikan oleh negara-negara pengekor Romawi. Monarki sempat dipulihkan pada masa Perang Makedonia Keempat pada tahun 150–148 SM, tetapi upaya tersebut tidak berhasil dan Romawi akhirnya mendirikan provinsi Makedonia.
Raja-raja Makedonia memiliki kekuasaan absolut dan mengendalikan sumber daya negara seperti emas dan perak. Mereka mengadakan kegiatan-kegiatan penambangan untuk mencetak uang, mendanai pasukan mereka, dan pada masa Filipos II juga untuk membangun armada laut. Tidak seperti negara-negara diadokhoi yang didirikan sepeninggalan Aleksander Agung, kultus kekaisaran yang digalakkan oleh Aleksander tidak pernah diberlakukan di Makedonia, tetapi penguasa Makedonia tetap berperan sebagai imam agung kerajaan dan merupakan pendukung berbagai kultus dari dalam dan luar negeri. Wewenang raja secara teoretis dibatasi oleh lembaga militer, sementara beberapa kota di persemakmuran Makedonia dianugerahi otonomi yang besar, termasuk memiliki pemerintahan demokratis dengan majelis rakyat.
Sejarah
Sejarah awal dan legenda
Nama Makedonia (bahasa Yunani: Μακεδονία, Makedonía) berasal dari etnonim Μακεδόνες (Makedónes), yang mengakar dari kata dalam bahasa Yunani Kuno μακεδνός (makednós), yang berarti "tinggi" (kemungkinan mendeskripsikan orang-orangnya).[8] Asal mula kata tersebut sama dengan asal usul kata sifat μάκρος (mákros), yang bermakna "panjang" atau "tinggi" dalam bahasa Yunani Kuno.[9] Nama ini awalnya diyakini memiliki arti "orang dataran tinggi", "orang tinggi", atau "orang yang bertumbuh tinggi".[catatan 1] Namun, Robert S. P. Beekes mengklaim bahwa kedua istilah tersebut berasal dari substratum Pra-Yunani dan tak dapat dijelaskan dengan menggunakan morfologi Indo-Eropa.[10]
Sejarawan-sejarawan Yunani Klasik seperti Herodotos dan Thukidides mencatat sebuah legenda yang menyatakan bahwa raja-raja Makedonia dari Dinasti Argeadai adalah keturunan Temenos, raja Argos, sehingga raja-raja tersebut dapat mengklaim bahwa Herakles adalah salah satu leluhur mereka, dan bahwa mereka adalah keturunan langsung Zeus, dewa utama dalam mitologi Yunani.[11] Pernyataan bahwa keluarga Argeadai merupakan keturunan Temenos diterima kebenarannya oleh para juri Hellanodikai dalam ajang Olimpiade Kuno, sehingga Raja Aleksander I dari Makedonia (m. 498 SM – 454 SM) diperbolehkan ikut bertanding berkat identitas Yunani-nya.[12] Tidak banyak yang diketahui mengenai masa pemerintahan ayah Aleksander, yaitu Amintas I dari Makedonia (m. 547 SM – 498 SM), pada periode Arkais.[13] Namun, terdapat pula legenda lain yang menyatakan bahwa pendiri Dinasti Argeadai adalah Perdikas I dari Makedonia atau Karanos dari Makedonia, dan terdapat lima atau delapan raja sebelum Amintas I.[14]
Kerajaan Makedonia terletak di sepanjang sungai Haliakmon dan Aksios di kawasan Makedonia Hilir yang terletak di sebelah utara Gunung Olimpus. Sejarawan Robert Malcolm Errington menduga bahwa salah satu raja Argeadai terawal mendirikan kota Aigai (sekarang Vergina) sebagai ibu kota pada pertengahan abad ke-7 SM.[15] Sebelum abad ke-4 SM, kerajaan tersebut mencakup kawasan di sekitaran bagian barat dan tengah wilayah Makedonia di Yunani modern.[16] Kerajaan tersebut secara bertahap meluas ke wilayah Makedonia Hulu, yang ditinggali oleh suku Linkestis dan Elimiotis (keduanya termasuk ke dalam puak Yunani), dan ke kawasan Ematia, Eordaia, Botiaia, Migdonia, Krestonia, dan Almopia (wilayah-wilayah yang ditempati oleh berbagai suku bangsa seperti Trakia dan Frigia).[17] Orang-orang non-Yunani yang tinggal bersebelahan dengan Makedonia adalah orang Trakia yang tinggal di kawasan timur laut, Iliria di barat laut, dan Paionia di utara, sementara wilayah Tesalia di selatan dan Epiros di barat ditinggali oleh orang Yunani dengan budaya yang serupa dengan orang Makedonia.[18]
Setahun setelah Darius I dari Persia (m. 522 SM – 486 SM) melancarkan serangan ke Eropa melawan orang-orang Skitia, Paionia, Trakia, dan beberapa negara-kota Yunani di Balkan, jenderal Persia Megabazos menggunakan cara diplomasi untuk membujuk Amintas I agar bersedia menjadi vasal Kekaisaran Akemeniyah, sehingga dimulailah periode Makedonia Akemeniyah.[catatan 2] Hegemoni Akemeniyah sempat terganggu oleh Pemberontakan Ionia (499–493 SM), tetapi jenderal Persia Mardonius berhasil mengembalikan kekuasaan Akemeniyah di Makedonia.[19] Makedonia diberikan otonomi yang besar dan tidak pernah dijadikan satrapi (semacam provinsi) Akemeniyah, tetapi wilayah tersebut tetap dituntut untuk menyediakan pasukan kepada Akemeniyah.[20] Aleksander I memberikan dukungan militer Makedonia kepada Xerxes I (m. 486 SM – 465 SM) selama invasi Yunani kedua pada 480–479 SM, dan pasukan Makedonia bahkan bertarung di pihak Persia dalam Pertempuran Plataia pada tahun 479 SM.[21] Setelah kemenangan besar Yunani di Salamis pada 480 SM, Aleksander I ditugaskan sebagai diplomat Akemeniyah dengan tugas mengusulkan perjanjian perdamaian dan persekutuan dengan Atena, tetapi tawaran tersebut ditolak mentah-mentah.[22] Tak lama sesudahnya, pasukan Akemeniyah terpaksa mundur dari daratan Eropa, alhasil berakhirlah kekuasaan Persia di Makedonia.[23]
Keterlibatan dalam peradaban Yunani Klasik
Meskipun awalnya merupakan vasal Persia, Aleksander I dari Makedonia tetap menjalin hubungan diplomatik yang bersahabat dengan bekas musuh-musuhnya di Yunani, yaitu Liga Delia yang dipimpin oleh Atena dan Liga Peloponesos pimpinan Sparta.[24] Namun, penerus Aleksander I, yakni Perdikas II (m. 454 SM – 413 SM) memimpin Kerajaan Makedonia dalam empat konflik terpisah melawan Atena; pada saat yang sama, wilayah Makedonia di timur laut terancam oleh serangan-serangan yang dilancarkan oleh seorang penguasa Trakia yang bernama Sitalkes dari Kerajaan Odrisia.[25] Mulanya negarawan Atena Perikles berupaya menggalakkan pendirian permukiman di daerah Sungai Strimon di dekat Kerajaan Makedonia, dan kota Amfipolis didirikan pada 437/436 SM agar Atena dapat memperoleh persediaan emas dan perak ditambah dengan kayu dan damar gegala untuk angkatan laut Atena.[26] Perdikas sempat tidak mengambil tindakan dan mungkin malah menyambut kedatangan Atena karena mereka sama-sama bermusuhan dengan orang-orang Trakia.[27] Keadaan berubah setelah Atena bersekutu dengan saudara dan sepupu Perdikas II yang telah memberontak melawannya.[27] Dua perang terpisah terjadi antara Makedonia dan Atena dari tahun 433 dan 431 SM.[27] Raja Makedonia membalas tindakan Atena dengan mendukung pemberontakan di wilayah sekutu Atena di Kalkidiki dan berhasil mengambil alih kota Potidaia yang strategis.[28] Kota Potidaia lalu dikepung oleh Atena setelah mereka merebut kota Therma dan Veria dari Makedonia, tetapi pengepungan tersebut mengalami kegagalan; Therma kemudian dikembalikan kepada Makedonia dan sebagian besar wilayah Kalkidiki pun diserahkan kepada Atena sesuai dengan perjanjian perdamaian yang ditengahi oleh Sitalkes, yang memberikan bantuan militer kepada Atena untuk mendapatkan sekutu-sekutu Trakia yang baru sebagai gantinya.[29]
Pada 429 SM, di tengah berkecamuknya Perang Peloponesos (431–404 SM) antara Atena dan Sparta, Perdikas II mengirim bantuan militer kepada Sparta di Akarnania, tetapi pasukan Makedonia terlambat datang, sehingga pasukan Atena dapat memenangkan Pertempuran Naupaktus.[30] Pada tahun yang sama, pasukan Atena mencoba membalas tindakan ini dengan meyakinkan Sitalkes untuk menyerang Makedonia, tetapi Atena menolak mengirimkan angkatan lautnya untuk membantu Sitalkes di Kalkidiki, kemungkinan karena Atena merasa takut dengan ambisi sang raja Trakia.[31] Sitalkes mundur dari Makedonia akibat kurangnya persediaan untuk para tentara pada musim dingin.[32] Pada 424 SM, Perdikas II membantu meyakinkan sekutu-sekutu Atena di Trakia untuk membelot dan bersekutu dengan Sparta.[33] Sebagai gantinya, jenderal Sparta Brasidas bersedia membantu Perdikas II memadamkan pemberontakan Arabaios, penguasa Linkestis (di Makedonia Hulu), meskipun ia sempat mengungkapkan kekhawatirannya karena Arabaios didukung oleh pasukan Iliria dalam jumlah yang besar dan juga karena sekutu Sparta di Kalkidiki rentan diserang Atena ketika pasukan Sparta sedang disibukkan di tempat lain.[34] Dalam Pertempuran Linkestis, pasukan Makedonia panik dan melarikan diri sebelum pertarungan dimulai, sehingga Brasidas mengamuk, dan pasukan-pasukannya menjarah kereta kuda pengangkut perbekalan milik Makedonia yang telah ditinggalkan.[35] Akibatnya, Perdikas II berbalik melawan Sparta dan kembali bersekutu dengan Atena, sehingga menghadang bala bantuan Liga Peloponesos di Tesalia dan memaksa Arabaios dan para pemberontak lainnya untuk menyerah dan menerima raja Makedonia sebagai penguasa mereka.[36]
Brasidas meninggal dunia pada tahun 422 SM, yang juga merupakan tahun ketika Atena dan Sparta menyetujui Perjanjian Perdamaian Nikias yang membebaskan Makedonia dari segala kewajiban untuk membantu sekutunya, Atena.[37] Setelah kemenangan Sparta dalam Pertempuran Mantinea pada tahun 418 SM, Sparta membentuk sebuah persekutuan dengan Argos, dan Perdikas II sendiri ingin bergabung dengan persekutuan ini karena terdapat kemungkinan bahwa sekutu-sekutu Sparta akan tetap berada di Kalkidiki.[38] Namun, setelah Argos mendadak berbalik mendukung Atena, angkatan laut Atena dapat memblokade pelabuhan-pelabuhan Makedonia dan menyerang Kalkidiki pada tahun 417 SM.[39] Perdikas II mengajak berdamai pada 414 SM dan membentuk sebuah persekutuan dengan Atena yang kemudian akan dilanjutkan oleh putranya sekaligus penerusnya, Arkelaos I (m. 413 SM – 399 SM).[40] Alhasil angkatan laut Atena memberikan dukungan kepada Arkelaos I selama pengepungan Pidna oleh Makedonia pada tahun 410 SM, dan sebagai gantinya Makedonia memasok Atena dengan kayu dan peralatan laut.[41]
Meskipun Arkelaos I menghadapi beberapa pemberontakan di dalam negeri dan harus menghalau serangan Iliria yang dipimpin oleh Siras dari Linkestis, ia mampu merambah ke wilayah Tesalia dengan mengirim bantuan militer kepada sekutu-sekutunya.[42] Walaupun ia masih mempertahankan Aigai sebagai pusat upacara dan keagamaan, Arkelaos I memindahkan ibu kota kerajaan ke utara di Pela, yang pada saat itu terletak di pinggir danau yang dihubungkan oleh sebuah sungai ke Laut Aegea.[43] Ia memperkuat mata uang Makedonia dengan mencetak koin-koin yang memiliki kandungan perak yang lebih tinggi serta dengan mengeluarkan koin tembaga yang terpisah.[44] Istana kerajaannya diisi oleh cendekiawan-cendekiawan ternama seperti seorang dramawan Atena yang bernama Euripides.[45] Setelah pembunuhan Arkelaos I (diduga akibat hubungan homoseksual dengan hamba muda di istananya), Kerajaan Makedonia mengalami kekacauan; dari tahun 399 hingga 393 SM, terdapat paling tidak empat penguasa: Orestes (putra Arkelaos I), Aeropos II (paman, wali raja, dan pembunuh Orestes), Pausanias (putra Aeropos II), dan Amintas II (yang menikahi putri bungsu Arkelaos I).[46] Tidak banyak yang diketahui mengenai masa yang kacau ini, tetapi masa ini berakhir setelah Amintas III (m. 393 SM – 370 SM, putra Aridaios dan cucu Amintas I) membunuh Pausanias dan merebut takhta Makedonia.[47]
Amintas III sempat melarikan diri dari kerajaannya sekitar tahun 393 atau 383 SM (berdasarkan catatan-catatan sejarah yang saling bertentangan), dalam rangka menghindari serangan besar-besaran yang dilancarkan oleh suku Dardani dari Iliria yang dipimpin oleh Bardilis.[catatan 3] Seorang pengklaim takhta yang bernama Argaios memerintah selama kepergian Amintas III, tetapi Amintas III kemudian dapat kembali ke kerajaannya dengan bantuan sekutu-sekutunya di Tesalia.[48] Amintas III juga hampir dilengserkan oleh pasukan kota Olintos yang memimpin Liga Kalkidiki, tetapi berkat bantuan dari Teleutias (saudara Raja Sparta Agesilaos II), pasukan Makedonia berhasil membuat Olintos menyerah dan membubarkan Liga Kalkidiki pada 379 SM.[49]
Aleksander II (putra dari Euridike I dan Amintas III, m. 370 SM – 368 SM) menggantikan ayahnya dan langsung menyerbu Tesalia dan mengobarkan perang melawan tagus (pemimpin militer tertinggi Tesalia) Aleksander dari Ferai, dan mereka berhasil menaklukkan kota Larisa.[50] Pasukan Tesalia ingin menjatuhkan Aleksander II sekaligus Aleksander dari Ferai, sehingga mereka meminta bantuan kepada Pelopidas dari Tivai; Pelopidas berhasil merebut kembali Larisa dan kemudian menerima sandera berupa adik kandung Aleksander II (yang kelak akan menjadi Raja Filipus II, m. 359 SM – 336 SM), sesuai dengan ketentuan perjanjian yang telah disepakati dengan Makedonia.[51] Setelah nyawa Aleksander dicabut oleh saudara iparnya, Ptolemaios dari Aloros, Ptolemaios bertindak sebagai wali untuk Raja Perdikas III (adik Aleksander II, m. 368 SM – 359 SM); setelah Perdikas III mencapai usia dewasa pada tahun 365 SM, ia memerintahkan agar Ptolemaios dihukum mati.[52] Masa kekuasaan Perdikas III merupakan masa kestabilan politik dan pemulihan keuangan.[53] Namun, serangan dari Atena yang dipimpin oleh Timoteos (anak Konon) mengakibatkan jatuhnya kota Metone dan Pidna, dan kemudian keadaan semakin memburuk setelah Bardilis dari Iliria kembali melancarkan serangan yang berujung pada kematian Perdikas III dan 4.000 pasukan Makedonia dalam pertempuran.[54]
Kebangkitan Makedonia
Filipos II berusia dua puluh empat tahun saat ia naik takhta pada 359 SM.[55] Berkat kemampuan diplomasinya, ia berhasil meyakinkan orang-orang Trakia yang dipimpin oleh Berisades untuk tidak lagi membantu salah seorang pengklaim takhta Makedonia yang bernama Pausanias, dan ia juga berhasil membuat Atena menghentikan dukungan mereka kepada seorang pengklaim takhta yang lain, yaitu Argaios II.[56] Ia melakukannya dengan menyuap orang-orang Trakia dan Paionia (yang merupakan sekutu Trakia), dan juga dengan menyepakati perjanjian dengan Atena yang menyatakan bahwa Makedonia mencabut klaimnya atas kota Amfipolis.[57] Selain itu, ia berhasil berdamai dengan orang-orang Iliria yang sempat mengancam wilayah perbatasan Makedonia.[58]
Filipos II mengawali masa pemerintahannya dengan merombak pasukan Makedonia. Ia mengubah susunan, peralatan, dan pelatihan pasukannya, termasuk dengan memperkenalkan formasi falangs Makedonia yang bersenjatakan tembiang panjang (sarissa), dan reformasi ini terbukti mujarab setelah mereka berhasil mengalahkan Iliria dan Paionia.[59] Catatan-catatan sejarah kuno yang saling berseberangan telah memicu perdebatan di kalangan ahli modern mengenai seberapa besar sumbangsih para pendahulu Filipos II terhadap reformasi militer ini, dan sejauh mana gagasannya dipengaruhi oleh masa-masa remajanya saat ia ditawan di Tivai sebagai sandera politik, khususnya setelah ia bertemu dengan jenderal Epaminondas.[60]
Orang Makedonia dan orang-orang Yunani pada umumnya mempraktikkan monogami, tetapi Filipos II melakukan poligami dan mempunyai tujuh istri, dan mungkin hanya satu istrinya yang tidak memiliki latar belakang sebagai persembahan tanda kesetiaan dari keluarga ningrat atau sekutu barunya.[catatan 4] Ia menikah dengan Fila dari Elimeia yang berasal dari golongan ningrat Makedonia Hulu, serta seorang putri Iliria yang bernama Audata dengan tujuan membentuk persekutuan.[61] Untuk membentuk persekutuan dengan Larisa di Tesalia, ia menikahi seorang bangsawati Tesalia yang bernama Filina pada tahun 358 SM, dan dari pernikahannya ini Filipos II dikaruniai seorang putra yang kelak akan memerintah dengan nama Filipos III Aridaios (m. 323 SM – 317 SM).[62] Pada 357 SM, ia menikahi Olimpias untuk bersekutu dengan Aribas, yang merupakan Raja Epiros dan Molosoi. Pernikahan tersebut dikaruniai seorang putra yang kemudian memerintah dengan sebutan Aleksander III (lebih dikenal dengan julukan Aleksander Agung) dan mengklaim sebagai keturunan Akhilles dalam legenda melalui garis keturunan Raja Epiros.[63] Tidak diketahui secara pasti apakah raja-raja Akemeniyah-lah yang berpengaruh terhadap praktik poligami Filipos II, meskipun pendahulunya Amintas III memiliki tiga putra yang diyakini lahir dari istri keduanya, Gigaea: Arkelaos, Aridaios, dan Menelaus.[64] Filipos II memerintahkan penghukuman mati Arkelaos pada 359 SM, sementara dua bersaudara yang lain melarikan diri ke Olintos, yang kemudian menjadi sebuah casus belli untuk memulai Perang Olintia (349–348 SM).[65]
Saat Atena sedang disibukkan dengan Perang Sosial (357–355 SM), Filipos II merebut kembali Amfipolis dari Atena pada 357 SM dan pada tahun berikutnya juga berhasil menguasai kembali Pidna dan Potidaia; ia lalu menyerahkan Potidaia kepada Liga Kalkidiki seperti yang telah dijanjikan sebelumnya.[66] Pada 356 SM, ia mengambil alih Krinides dan mendirikan kembali kota tersebut dengan nama Filipi, sementara salah satu jenderalnya yang bernama Parmenion berhasil mengalahkan raja Iliria Grabos dari Grabaei.[67] Selama pengepungan Methone tahun 355–354 SM, Filipos II kehilangan mata kanannya akibat tembakan panah, tetapi tetap berhasil merebut kota tersebut dan memperlakukan para penduduknya dengan baik, tidak seperti Potidaia yang telah diperbudak rakyatnya.[catatan 5]
Filipos II lalu turut serta dalam Perang Suci Ketiga (356–346 SM). Perang ini dimulai setelah Fokis menaklukkan dan menjarah kuil Apollo di Delfi daripada harus melunasi denda yang belum dibayarkan. Akibat tindakan tersebut, Liga Amfiktionia menyatakan perang terhadap Fokis, dan pada saat yang sama perang saudara juga meletus di antara para anggota Liga Tesalia karena masing-masing dari anggota liga tersebut ada yang bersekutu dengan Fokis atau Tivai.[68] Kampanye militer yang dikobarkan oleh Filipos II melawan Ferai di Tesalia pada 353 SM (atas desakan dari Larisa) sempat mengalami kegagalan akibat dua kekalahan besar di tangan jenderal Fokis Onomarkos.[catatan 6] Walaupun begitu, Filipos II berhasil mengalahkan Onomarkos dalam Pertempuran Lapangan Krokus pada 352 SM, sehingga Filipos II terpilih sebagai pemimpin (arkhon) Liga Tesalia, mendapatkan satu kursi di Dewan Amfiktionia, dan dapat membentuk persekutuan dengan Ferai melalui pernikahan dengan Nikesipolis, kemenakan tiran Iason dari Ferai.[69]
Setelah bertempur melawan penguasa Trakia Kersobleptes, pada tahun 349 SM, Filipos II memulai perang melawan Liga Kalkidiki, yang telah didirikan kembali pada 375 SM.[70] Meskipun Karidemos dari Atena mencoba membantu Kalkidiki,[71] Olintos ditaklukan oleh Filipos II pada 348 SM, sementara para penduduknya dijual sebagai budak, termasuk beberapa warga Atena.[72] Atena berupaya meyakinkan sekutu-sekutunya untuk melancarkan serangan balasan (termasuk pidato-pidato Demostenes), tetapi upaya-upaya ini gagal, sehingga pada 346 SM Atena menyepakati Perjanjian Perdamaian Filokrates dengan Makedonia.[73] Perjanjian tersebut menyatakan bahwa Atena akan mencabut klaim atas wilayah pesisir Makedonia, Kalkidiki, dan Amfipolis; sebagai gantinya, orang-orang Atena yang telah diperbudak akan dilepaskan, dan Filipos II juga memberikan jaminan bahwa mereka tak akan menyerang permukiman-permukiman Atena di Kersonesos Trakia.[74] Sementara itu, Fokis dan Termopilai ditaklukkan oleh pasukan Makedonia, para perampok kuil Delfi dihukum mati, dan Filipos II memperoleh dua kursi Fokis di Dewan Amfiktionia serta jabatan pembawa acara dalam ajang Pesta Olahraga Pitia.[75] Atena awalnya menentang keanggotaan Makedonia di dewan dan menolak hadir dalam ajang tersebut sebagai tanda protes, tetapi pada akhirnya mereka bersedia menerimanya, mungkin setelah diyakinkan oleh Demostenes dalam orasinya, Tentang Perdamaian.[76]
Dalam rentang waktu beberapa tahun sesudahnya, Filipos II merombak pemerintahan-pemerintahan lokal di Tesalia, berperang melawan penguasa Iliria Pleuratos I, melengserkan Aribas di Epiros dan menggantikannya dengan saudara ipar Filipos II, Aleksander I (melalui pernikahan Filipos II dengan Olimpias), serta mengalahkan Kersobleptes di Trakia. Dengan ini ia dapat memperluas kendali Makedonia ke wilayah Helespontos untuk mengantisipasi serangan dari Akemeniyah.[78] Pada tahun 342 SM, Filipos II menaklukkan sebuah kota Trakia yang terletak di wilayah yang kini menjadi bagian dari Bulgaria, dan lalu mengganti namanya menjadi Filipopolis (sekarang Plovdiv).[79] Perang melawan Atena meletus pada tahun 340 SM, sementara Filipos II disibukkan oleh pengepungan terhadap kota Perintos dan Bizantion yang mengalami kegagalan, disusul dengan perang melawan Skitia di sepanjang sungai Donau yang berhasil dimenangkan oleh Makedonia, serta keterlibatan Makedonia dalam Perang Suci Keempat melawan Amfisa pada 339 SM.[80] Tivai kemudian mengusir garnisun Makedonia dari Nikea (dekat Termopilai), sehingga Tivai bergabung dengan Atena, Megara, Korintos, Akhaia, dan Euboia dalam upaya terakhir mereka untuk membendung Makedonia dalam Pertempuran Kaironeia pada 338 SM.[81] Setelah Makedonia berhasil memenangkan pertempuran tersebut, Filipos II mendirikan sebuah oligarki di Tivai, tetapi mereka tidak mengambil tindakan keras terhadap Atena, karena mereka masih ingin memanfaatkan angkatan laut mereka dalam rencana penyerangan terhadap Akemeniyah.[82] Ia lalu membentuk Liga Korintos yang meliputi negara-negara kota Yunani besar kecuali Sparta. Walaupun Kerajaan Makedonia secara resmi tidak tergabung ke dalam liga tersebut, pada tahun 337 SM, Filipos II terpilih sebagai pemimpin (hegemon) dewan liga tersebut (sinedrion) serta panglima tertinggi (strategos autokrator) dalam kampanye militer yang akan datang melawan Akemeniyah.[83] Salah satu alasan yang mendasari keputusan Filipos II untuk menyerang Akemeniyah mungkin adalah ketakutan di Yunani bahwa Persia akan kembali melakukan serangan.[84] Persia menawarkan bantuan kepada Perintos dan Bizantion pada 341–340 SM, mengingat Makedonia perlu menguasai kawasan Trakia dan Laut Aegea untuk mempersiapkan serangan ke Akemeniyah, sementara Raja Persia Artaxerxes III terus memperkukuh kekuasaannya atas provinsi-provinsi di Anatolia barat.[85] Filipos II sendiri menginginkan wilayah Anatolia barat, karena sumber daya alam di tempat tersebut jauh lebih kaya daripada di Balkan.[86]
Setelah Filipos II menikahi Kleopatra Euridike (keponakan jenderal Atalus), perbincangan mengenai calon penerus yang baru selama pesta pernikahan membuat murka istri Filipos II, Olimpias, dan anak mereka, Aleksander (yang juga merupakan veteran Pertempuran Kaironeia).[87] Aleksander dan Olimpias bersama-sama melarikan diri ke Epiros sebelum akhirnya Aleksander dipanggil lagi ke Pela oleh Filipos II.[87] Saat Filipos II berencana menjodohkan anaknya Aridaios dengan Ada dari Karia (putri seorang satrap Persia di Karia yang bernama Pixodarus), Aleksander meminta agar dirinya yang dinikahkan dengan Ada. Filipos lalu membatalkan pernikahan tersebut dan mengasingkan para penasihat Aleksander (Ptolemaios, Nearkos, dan Harpalos).[88] Agar tetap rukun dengan Olimpias, Filipos II menikahkan putri mereka Kleopatra dengan saudara Olimpia (dan paman Kleopatra), Aleksander I dari Epiros, tetapi Filipos II malah dibunuh oleh penjaganya Pausanias dari Orestis saat pesta pernikahan tersebut digelar, sehingga ia digantikan oleh Aleksander pada 336 SM.[89]
Kekaisaran
Para ahli modern telah memperdebatkan kemungkinan keterlibatan Aleksander III dan ibunya Olimpias dalam pembunuhan Filipos II, terutama mengingat bahwa Filipos II sudah memutuskan untuk tidak melibatkan Aleksander dalam rencana serangannya ke Asia dan sebagai gantinya akan menjadikannya sebagai wali raja Yunani dan wakil hegemon Liga Korintos; faktor lain yang membuat ahli-ahli mencurigai keterlibatan mereka berdua adalah kemungkinan lahirnya calon penerus laki-laki yang lain dari pernikahan Filipos II dengan istri barunya, Kleopatra Euridike.[catatan 7] Aleksander III (m. 336 SM – 323 SM) dinyatakan sebagai raja oleh sebuah majelis yang terdiri dari para tentara dan ningrat, dengan Antipatros dan Parmenion sebagai tokoh-tokoh paling penting di majelis tersebut.[90] Pada akhir masa pemerintahan dan karier militernya pada 323 SM, Aleksander menguasai sebuah kekaisaran yang membentang di Yunani daratan, Asia Kecil, Syam, Mesir Kuno, Mesopotamia, Persia, dan berbagai wilayah di Asia Tengah dan Selatan (termasuk wilayah yang sekarang menjadi Pakistan).[91] Salah satu tindakan pertamanya adalah memakamkan ayahnya di Aigai.[92] Para anggota Liga Korintos memberontak setelah mendengar kabar kematian Filipos II, tetapi pemberontakan tersebut tak lama kemudian dipadamkan oleh pasukan militer dan juga dengan menggunakan diplomasi, sehingga Aleksander terpilih sebagai hegemon liga tersebut yang akan melaksanakan rencana serangan ke Akemeniyah.[93]
Pada tahun 335 SM, Aleksander mengobarkan perang melawan salah satu suku Trakia yang disebut Tribali di Haemus Mons dan di sepanjang sungai Donau, sehingga suku tersebut terpaksa menyerah di Pulau Peuke.[94] Tak lama setelahnya, raja Iliria Kleitos dari Dardani mengancam akan menyerang Makedonia, tetapi Aleksander mengambil tindakan terlebih dahulu dengan mengepung suku Dardani di Pelion (sekarang di Albania).[95] Ketika Tivai kembali memberontak melawan Liga Korintos dan mengepung garnisun Makedonia di Kadmia, Aleksander meninggalkan front Iliria dan bergerak menuju Tivai, yang kemudian ia kepung.[96] Setelah berhasil menembus tembok kota, pasukan Aleksander membunuh 6.000 orang, menawan 30.000 warga, dan membakar kota tersebut hingga rata dengan tanah sebagai peringatan terhadap negara-negara Yunani lainnya (kecuali Sparta) supaya mereka tidak mencoba menentang Aleksander.[97]
Sepanjang karier militernya, Aleksander memenangkan setiap pertempuran yang ia pimpin secara langsung.[98] Kemenangan pertamanya melawan bangsa Persia di Asia Kecil dalam Pertempuran Granikos pada 334 SM diwujudkan dengan mengirimkan kontingen kavaleri kecil sebagai pengalih perhatian agar pasukan infanterinya dapat menyeberangi sungai, dan disusul oleh serbuan dari kavaleri "hetairoi".[99] Aleksander memimpin serbuan kavaleri dalam Pertempuran Isos pada 333 SM, sehingga Raja Persia Darius III dan tentaranya terpaksa melarikan diri.[99] Meskipun jumlah pasukannya lebih unggul, Darius III lagi-lagi terpaksa mundur akibat kekalahan dalam Pertempuran Gaugamela pada 331 SM.[99] Sang Raja Persia kemudian ditangkap dan dihukum mati oleh seorang satrap Baktria sekaligus kerabatnya, Besos, pada 330 SM. Aleksander lalu memburu dan menghukum mati Besos di sebuah tempat yang sekarang berada di Afganistan, sesambil menguasai kawasan Sogdia.[100] Dalam Pertempuran Hidaspes pada tahun 326 SM (sekarang di Punjab), gajah-gajah perang Raja Puru dari Paurawa mengancam pasukan Aleksander, alhasil Aleksander memerintahkan pasukannya untuk membentuk barisan terbuka, mengepung gajah-gajah, dan menjatuhkan pengendali gajah dengan menggunakan tembiang sarissa.[101] Ketika pasukan Makedonia mengancam akan melakukan pemberontakan pada 324 SM di Opis, Babilonia (sekarang di dekat Baghdad, Irak), Aleksander malah menawarkan gelar-gelar militer Makedonia dan tanggung jawab yang lebih besar kepada para perwira Persia, sehingga pasukannya terpaksa memohon pengampunan dalam perjamuan makan yang diadakan untuk merukunkan kembali Persia dan Makedonia.[102]
Aleksander mungkin telah melemahkan pemerintahannya sendiri dengan menunjukkan tanda-tanda megalomania.[103] Selain mengeluarkan propaganda yang efektif seperti kisah pemotongan Ikatan Gordia, ia juga berupaya menggambarkan dirinya sebagai seorang dewa hidup dan putra Zeus setelah ia mengunjungi orakel di Siwah, Gurun Libya (sekarang Mesir), pada 331 SM.[104] Pada tahun 327 SM, ia mencoba meminta bawahannya untuk bersujud di hadapannya di Baktra, yang merupakan sebuah tindakan proskinesis yang diserap dari praktik di istana Persia, tetapi upaya ini dicap sebagai penistaan agama oleh bawahan-bawahannya di Makedonia dan Yunani setelah seorang sejarawan istana yang bernama Kalistenes menolak mengikuti ritual tersebut.[103] Ketika Aleksander membunuh Parmenion di Ekbatana (sekarang dekat Hamadan, Iran) pada 330 SM, hal ini menjadi "gejala melebarnya jurang antara kepentingan raja dengan kepentingan negara dan rakyatnya", sebagaimana diamati oleh Errington.[105] Pembunuhan Kleitos yang Hitam pada 328 SM oleh Aleksander juga disebut sebagai tindakan yang "berdendam dan sembrono" oleh Dawn L. Gilley dan Ian Worthington.[106] Selain itu, Aleksander meneruskan kebiasaan poligami ayahnya; ia mendorong pasukannya untuk menikahi perempuan-perempuan di Asia, dan ia memberikan contoh secara langsung dengan menikahi Roxana, seorang putri Baktria yang berasal dari Sogdia.[107] Aleksander kemudian menikahi Stateira II (putri sulung Darius III) dan Parisatis II (putri bungsu Artaxerxes III) dalam upacara pernikahan Susa pada 324 SM.[108]
Sementara itu, di Yunani, Raja Sparta Agis III berupaya memimpin pemberontakan Yunani melawan Makedonia.[109] Ia dikalahkan pada 331 SM dalam Pertempuran Megalopolis oleh Antipatros.[catatan 8] Sebelum Antipatros berangkat untuk melancarkan kampanye militer di Peloponesos, gubernur Trakia yang bernama Memnon berhasil dibujuk untuk tidak memberontak dengan menggunakan cara diplomasi.[110] Antipatros menyerahkan urusan hukuman terhadap Sparta kepada Liga Korintos yang dikepalai oleh Aleksander, yang pada akhirnya memutuskan untuk mengampuni Sparta asalkan mereka mengirim lima puluh bangsawan sebagai sandera.[111] Kekuasaan Antipatros tidak terlalu disukai di Yunani akibat tindakannya (mungkin atas perintah dari Aleksander) yang menempatkan pasukan-pasukan Makedonia di kota-kota dan mengasingkan orang-orang yang tidak puas dengan kepemimpinannya, tetapi pada tahun 330 SM, Aleksander mengumandangkan bahwa tirani-tirani yang ada di Yunani akan dihapuskan dan kebebasan Yunani akan dipulihkan.[112]
Setelah Aleksander Agung meninggal dunia di Babilonia pada 323 SM, Olimpias langsung melayangkan tuduhan kepada Antipatros dan faksinya bahwa mereka telah meracuninya, meskipun tak ada bukti yang membenarkan hal ini.[113] Akibat ketiadaan pewaris takhta secara resmi, komando militer Makedonia pun terpecah: satu pihak menyatakan saudara tiri Aleksander, Filipos III Aridaios (m. 323 SM – 317 SM), sebagai raja, sementara yang lainnya berpihak kepada bayi putra Aleksander dari pernikahannya dengan Roxana, Aleksander IV (m. 323 SM – 309 SM).[114] Sepeninggalan Aleksander, orang-orang Yunani (kecuali Euboia dan Boiotia) juga langsung memberontak melawan Antipatros dan memulai Perang Lamia (323–322 SM).[115] Setelah Antipatros mengalami kekalahan dalam Pertempuran Termopilai pada 323 SM, ia melarikan diri ke Lamia, dan kemudian ia dikepung oleh komandan Atena Leostenes. Antipatros lalu diselamatkan oleh pasukan Makedonia yang dipimpin oleh Leonatos.[116] Antipatros pada akhirnya berhasil memadamkan pemberontakan tersebut. Kematiannya pada 319 SM mengakibatkan kekosongan kekuasaan, sementara dua orang yang dinyatakan sebagai raja menjadi pion dalam perebutan kekuasaan di antara para diadokhoi (bekas jenderal pasukan Aleksander).[117]
Peristiwa lain yang terjadi setelah kematian Aleksander adalah pertemuan dewan tentara di Babilonia. Dewan tentara tersebut mengangkat Filipos III sebagai raja dan kiliarkos Perdikas sebagai walinya.[118] Antipatros, Antigonos Monoftalmos, Krateros, dan Ptolemaios membentuk sebuah koalisi melawan Perdikas dalam sebuah perang saudara yang disulut oleh perampasan pengangkut jenazah Aleksander Agung oleh Ptolemaios.[119] Perdikas menyerang Ptolemaios di Mesir untuk menghukumnya, tetapi serangan itu mengalami kegagalan, dan 2.000 pasukannya tewas tenggelam saat sedang bergerak di kawasan Sungai Nil; Perdikas kemudian dibunuh oleh para perwiranya sendiri di tengah kampanye militer tersebut pada tahun 321 SM.[120] Sementara itu, Eumenes dari Kardia berhasil membunuh Krateros dalam pertempuran, tetapi hal ini tidak terlalu berdampak terhadap jalannya Pembagian Triparadeisos pada tahun 321 SM di Siria, ketika koalisi yang memenangkan perang menyelesaikan permasalahan perwalian raja yang baru dan hak-hak wilayah.[121] Antipatros diangkat sebagai wali atas dua raja. Sebelum Antipatros wafat pada 319 SM, ia mengangkat seorang loyalis Argeadai yang bernama Poliperkones sebagai penerusnya, sehingga melewatkan anak kandung Antipatros, Kasandros, dan menghiraukan hak raja untuk memilih walinya sendiri (karena Filipos III dianggap memiliki kondisi kejiwaan yang tidak stabil), dan juga mengabaikan dewan tentara.[122]
Setelah bersekutu dengan Ptolemaios, Antigonos, dan Lisimakos, Kasandros memerintahkan perwiranya Nikanor untuk merebut benteng Munikia di kota pelabuhan Atena, Pireas; tindakan ini melanggar dekret dari Poliperkones yang menyatakan bahwa kota-kota Yunani harus terbebas dari garnisun Makedonia, sehingga meletuslah Perang Diadokhoi Kedua (319–315 SM).[123] Akibat kekalahan-kekalahan Poliperkones, pada tahun 317 SM, Filipos III (dengan keterlibatan istri Filipos III yang aktif secara politik, Euridike II dari Makedonia) secara resmi menjadikan Kasandros sebagai pengganti Poliperkones.[124] Sesudah itu, Poliperkones meminta bantuan dari Olimpias di Epiros.[124] Pasukan gabungan Epiros, Aitolia, dan Poliperkones menyerang Makedonia dan berhasil memaksa pasukan Filipos III dan Euridike untuk menyerah, sehingga Olimpias dapat menghukum mati sang raja dan memaksa sang ratu untuk bunuh diri.[125] Olimpias kemudian memerintahkan agar Nikanor dan puluhan bangsawan Makedonia lainnya dibunuh, tetapi pada musim semi tahun 316 SM, Kasandros berhasil mengalahkan pasukan Olimpias, menangkapnya, dan menyeretnya ke meja hijau atas dakwaan pembunuhan, dan akhirnya Olimpias dijatuhi hukuman mati.[126]
Kasandros menikahi putri Filipos II yang bernama Thessalonike dan memperluas kendali Makedonia ke wilayah Iliria hingga mencapai Epidamnos. Pada 313 SM, wilayah tersebut direbut kembali oleh raja Iliria Glaukias dari Taulanti.[127] Pada 316 SM, Antigonos merebut wilayah Eumenes dan memutuskan untuk mengusir Seleukos Nikator dari wilayah Seleukos di Babilonia, sehingga Kasandros, Ptolemaios, dan Lisimakos melayangkan ultimatum terhadap Antigonos pada tahun 315 SM yang menuntut agar ia menyerahkan berbagai wilayah di Asia.[128] Antigonos langsung bersekutu dengan Poliperkones yang berbasis di Korintos, dan Antigonos lalu juga mengeluarkan sebuah ultimatum kepada Kasandros yang menuduhnya sebagai pembunuh Olimpias dan menuntut agar ia menyerahkan keluarga kerajaan, yaitu Raja Aleksander IV dan ibu suri Roxana.[129] Konflik tersebut berlangsung hingga musim dingin tahun 312/311 SM, dan kemudian perjanjian perdamaian yang baru mengakui Kasandros sebagai jenderal Eropa, Antigonos sebagai "yang pertama di Asia", Ptolemaios sebagai jenderal Mesir, dan Lisimakos sebagai jenderal Trakia.[130] Kasandros lalu memerintahkan agar Aleksander IV dan Roxana dihukum mati pada musim dingin tahun 311/310 SM. Kemudian, pada tahun 306–305 SM, para diadokhoi dinyatakan sebagai raja di wilayah mereka masing-masing.[131]
Era Helenistik
Era Yunani Helenistik ditandai dengan percekcokan antara Dinasti Antipatridai yang dipimpin oleh Kasandros (m. 305 SM – 297 SM) melawan Dinasti Antigonidai pimpinan jenderal Makedonia Antigonos I Monofthalmos (m. 306 SM – 301 SM) dan putranya yang kelak akan menjadi raja Demetrios I (m. 294 SM – 288 SM). Kasandros mengepung Atena pada 303 SM, tetapi terpaksa mundur ke Makedonia ketika Demetrios menyerbu Boiotia untuk memutus jalur mundur pasukan Kasandros.[132] Walaupun Antigonos dan Demetrios berupaya membentuk kembali Liga Helenik seperti pada masa Filipos II dengan mereka berdua sebagai hegemon, sebuah koalisi tandingan didirikan oleh Kasandros, Ptolemaios I Soter (m. 305 SM – 283 SM) dari Dinasti Ptolemaik Mesir, Seleukos I Nikator (m. 305 SM – 281 SM) dari Kekaisaran Seleukia, dan Raja Trakia Lisimakos (m. 306 SM – 281 SM); koalisi ini berhasil mengalahkan pasukan Antigonidai dalam Pertempuran Ipsos pada 301 SM, yang menewaskan Antigonos dan memaksa Demetrios untuk melarikan diri.[133]
Kasandros wafat pada tahun 297 SM, dan putranya Filipos IV yang sakit juga tutup usia pada tahun yang sama; Filipos IV lalu digantikan oleh dua anak laki-laki Kasandros yang lain, yaitu Aleksander V dari Makedonia (m. 297 SM – 294 SM) dan Antipatros II dari Makedonia (m. 297 SM – 294 SM), sementara ibu mereka Thessalonike dari Makedonia bertindak sebagai wali raja.[134] Ketika Demetrios sedang bertempur melawan pasukan Antipatridai di Yunani, Antipatros II membunuh ibunya sendiri untuk memperoleh kekuasaan.[134] Aleksander V yang merasa tersudut lalu meminta bantuan dari Piros dari Epiros (m. 297 SM – 272 SM),[134] yang pernah bertempur bersama dengan Demetrios dalam Pertempuran Ipsos, tetapi Piros kemudian dikirim sebagai sandera ke Mesir sebagai bagian dari perjanjian antara Demetrios dan Ptolemaios I.[135] Sebagai balasan karena telah mengalahkan pasukan Antipatros II dan membuat Antipatros II melarikan diri ke istana Lisimakos di Trakia, Piros dianugerahi wilayah paling barat kerajaan Makedonia.[136] Demetrios lalu memerintahkan pembunuhan keponakannya, Aleksander V, dan kemudian dinyatakan sebagai raja Makedonia, tetapi bawahan-bawahannya menentang gaya kepemimpinan otokrasinya.[134]
Perang pecah antara Piros dan Demetrios pada tahun 290 SM setelah Lanasa (istri Piros dan putri Agatokles dari Sirakousai) mencampakkan Piros, mendekati Demetrios, dan menawarkan kepada Demetrios pulau Korkira yang sebelumnya diperolehnya sebagai maskawin.[137] Perang berlangsung sampai tahun 288 SM, ketika Demetrius tidak lagi didukung oleh rakyat Makedonia dan melarikan diri dari negara tersebut. Makedonia kemudian terbagi antara Piros dan Lisimakos; Piros menguasai Makedonia barat, sementara Lisimakos mengendalikan Makedonia timur.[137] Pada tahun 286 SM, Lisimakos mengusir Piros dan pasukannya dari Makedonia.[catatan 9] Pada 282 SM, perang meletus antara Seleukos I melawan Lisimakos; Lisimakos tewas dalam Pertempuran Kurupedion, sehingga Seleukos I dapat mengambil alih wilayah Trakia dan Makedonia.[138] Namun, Seleukos I dibunuh pada tahun 281 SM oleh salah seorang perwiranya yang bernama Ptolemaios Keraunos, putra Ptolemaios I dan cucu Antipatros. Ptolemaios Keraunos kemudian dinyatakan sebagai raja Makedonia, tetapi ia gugur dalam pertempuran melawan para penyerang Kelt pada tahun 279 SM selama invasi Galia ke Yunani.[139] Tentara Makedonia menyatakan jenderal Sostenes dari Makedonia sebagai raja, meskipun ia tampaknya menolak gelar tersebut.[140] Setelah mengalahkan pasukan seorang penguasa Galia yang bernama Bolgios dan memukul mundur pasukan yang dipimpin oleh Brenos, Sostenes wafat dan meninggalkan Makedonia dalam keadaan yang kacau.[141] Pasukan Galia kembali meluluhlantakkan Makedonia sampai Antigonos Gonatas (putra Demetrios) mengalahkan mereka di Trakia pada tahun 277 SM dalam Pertempuran Lismakeia dan kemudian dinyatakan sebagai raja Antigonos II dari Makedonia (m. 277 SM – 274 SM; m. 272 SM – 239 SM).[142]
Pada 280 SM, Piros melancarkan kampanye militer di Magna Gresia (Italia selatan) melawan Republik Romawi, dan konflik ini dikenal dengan sebutan Perang Piros, dan kemudian ia juga melancarkan serangan ke Sisilia yang berada di bawah kendali Kartago pada masa itu.[143] Ptolemaios Keraunos sendiri mengamankan jabatannya di Makedonia dengan memberikan lima ribu prajurit dan dua puluh gajah perang kepada Piros.[135] Setelah mengalami kegagalan, Piros kembali ke Epiros pada 275 SM, dan kemenangan Romawi dalam konflik tersebut telah memperkuat negara ini, karena kota-kota Yunani di Italia selatan (seperti Tarentum) telah menjadi sekutu Romawi.[143] Piros lalu menyerang Makedonia pada tahun 274 SM dan berhasil mengalahkan tentara Antigonos II yang sebagian besar terdiri dari tentara bayaran dalam Pertempuran Aous pada tahun 274 SM. Piros juga berhasil mengusirnya dari Makedonia, sehingga Antigonos II terpaksa mengungsi bersama dengan armadanya.[144]
Piros kehilangan dukungan dari banyak orang di Makedonia pada tahun 273 SM setelah tentara bayarannya yang berasal dari Galia menjarah pemakaman kerajaan di Aigai.[145] Piros mengejar Antigonos II di Peloponesos, tetapi Antigonos II pada akhirnya berhasil menaklukkan kembali Makedonia.[146] Piros tewas saat mengepung Argos pada 272 SM, alhasil Antigonos II dapat mengklaim kembali wilayah Yunani lainnya.[147] Ia kemudian merestorasi pemakaman Dinasti Argeadai di Aigai dan mencaplok wilayah Kerajaan Paionia.[148]
Liga Aitolia menghambat ambisi Antigonos II di Yunani tengah. Pembentukan Liga Akaya pada 251 SM juga mengakibatkan terusirnya pasukan Makedonia dari sebagian besar wilayah Peloponesos, dan pada masa-masa tertentu liga ini turut menguasai Atena dan Sparta.[149] Meskipun Kekaisaran Seleukia bersekutu dengan Dinasti Antigonidai di Makedonia dalam upaya melawan Mesir Ptolemaik pada masa Perang Siria, angkatan laut Ptolemaik sangat mengganggu upaya Antigonos II untuk mengendalikan daratan utama Yunani.[150] Dengan bantuan dari angkatan laut Ptolemaik, negarawan Atena Kremonides melancarkan sebuah pemberontakan melawan Makedonia yang dikenal sebagai Perang Kremonides (267–261 SM).[151] Pada 265 SM, Atena dikepung oleh pasukan Antigonos II, dan armada Ptolemaik dikalahkan dalam Pertempuran Kos. Atena akhirnya menyerah pada 261 SM.[152] Setelah Makedonia membentuk sebuah persekutuan dengan penguasa Seleukia Antiokos II, sebuah kesepakatan damai antara Antigonos II dan Ptolemaios II Filadelfos dari Mesir akhirnya tercapai pada 255 SM.[153]
Pada 251 SM, Aratos dari Sikion melancarkan sebuah pemberontakan melawan Antigonos II, dan pada 250 SM, Ptolemaios II menyatakan dukungannya kepada Aleksander dari Korintos yang telah menyatakan dirinya sebagai raja.[155] Walaupun Aleksander wafat pada 246 SM dan Antigonos berhasil memenangkan pertempuran laut melawan Ptolemaios di Andros, Akrokorintos direbut oleh pasukan Aratos pada 243 SM, dan kemudian Korintos tergabung ke dalam Liga Akaya.[156] Antigonos II berdamai dengan Liga Akaya pada 240 SM dan harus merelakan wilayah yang telah lepas di Yunani.[157] Antigonos II meninggal dunia pada 239 SM dan digantikan oleh putranya, Demetrios II dari Makedonia (m. 239 SM – 229 SM). Dalam upaya untuk membentuk persekutuan dengan Makedonia untuk mempertahankan diri dari serangan Aitolia, ibu suri dan wali raja Epiros, Olimpias II, menawarkan putrinya Ftia dari Makedonia untuk dinikahkan dengan Demetrios II. Demetrios II menerima usulannya, tetapi hubungannya dengan Seleukia rusak akibat perceraiannya dengan Stratonike dari Makedonia.[158] Walaupun pernikahan ini membuat Aitolia bersekutu dengan Liga Akaya, Demetrios II menyerang Boiotia dan berhasil merebutnya dari Aitolia pada 236 SM.[154]
Liga Akaya berhasil menaklukkan Megalopolis pada 235 SM, dan pada akhir masa pemerintahan Demetrios II, sebagian besar wilayah Peloponesos (kecuali Argos) telah direbut dari Makedonia.[159] Persekutuan Demetrios II dengan Epiros juga bubar setelah sistem monarki dilengserkan oleh sebuah revolusi republikan.[160] Demetrios II meminta bantuan kepada raja Iliria Agron dalam upaya untuk mempertahankan Akarnania dari Aitolia, dan pada 229 SM, mereka berhasil mengalahkan gabungan angkatan laut Aitolia dan Liga Akaya dalam Pertempuran Paxos.[160] Seorang penguasa Iliria yang lain, yaitu Longaros dari Kerajaan Dardania, menyerang Makedonia dan mengalahkan pasukan Demetrios II tak lama sebelum Demetrios tutup usia pada tahun 229 SM.[161] Meskipun putranya yang masih muda (Filipos) mewarisi takhta Makedonia, wali rajanya yang bernama Antigonos III Doson (keponakan Antigonos II, m. 229 SM – 221 SM) dinyatakan sebagai raja oleh tentaranya, dengan Filipos sebagai pewarisnya, setelah Makedonia berhasil memenangkan sejumlah pertempuran melawan pasukan Iliria di utara dan pasukan Aitolia di Tesalia.[162]
Aratos mengirim utusan ke istana Antigonos III pada 226 SM untuk mengajak bersekutu, karena raja Kleomenes III dari Sparta telah menjadi ancaman bagi wilayah-wilayah Yunani lainnya selama Perang Kleomenes (229–222 SM).[163] Antigonos III bersedia membantu Aratos, tetapi sebagai gantinya ia menuntut pengembalian wilayah Korintos kepada Makedonia, dan Aratos akhirnya bersedia pada tahun 225 SM.[164] Pada 224 SM, pasukan Antigonos III merebut Arkadia dari Sparta. Setelah membentuk sebuah liga Helenistik yang serupa dengan Liga Korintos pada masa Filipos II, Antigonos III berhasil mengalahkan Sparta dalam Pertempuran Selasia pada 222 SM.[165] Sparta lalu diduduki oleh negara asing untuk pertama kalinya dalam sejarah, dan Makedonia pun kembali menjadi negara terkuat di Yunani.[166] Antigonos wafat setahun kemudian, kemungkinan akibat tuberkulosis, dan ia mewariskan sebuah kerajaan Helenistik yang kuat kepada penerusnya, Filipos V.[167]
Kekuasaan Filipos V dari Makedonia (m. 221 SM – 179 SM) menghadapi ancaman dari Liga Aitolia dan suku Dardani dari Iliria[168] Filipos V dan sekutu-sekutunya berhasil mengalahkan pasukan Aitolia dan sekutunya dalam Perang Sosial (220–217 SM), tetapi ia memutuskan untuk berdamai dengan Aitolia setelah mendengar kabar mengenai serangan suku Dardani di utara dan kemenangan Kartago atas Romawi dalam Pertempuran Danau Trasimene pada 217 SM.[169] Demetrios dari Faros diduga adalah orang yang telah meyakinkan Filipos V untuk mengamankan wilayah Iliria terlebih dahulu sebelum menyerang semenanjung Italia.[catatan 10] Pada 216 SM, Filipos V mengirim seratus kapal-kapal perang ringan ke Laut Adriatik untuk menyerang Iliria, sebuah tindakan yang membuat Skerdilaidas dari Kerajaan Ardiaea memohon bantuan kepada Romawi.[170] Romawi menanggapinya dengan mengirim sepuluh kapal kuinkuireme berat dari Sisilia Romawi untuk menjaga wilayah pesisir Iliria, sehingga Filipos V memerintahkan agar armadanya menarik diri untuk menghindari konflik secara terbuka.[171]
Konflik dengan Roma
Pada tahun 215 SM, di tengah berkecamuknya Perang Punisia Kedua, aparat Romawi mencegat sebuah kapal di kawasan lepas pantai Calabria. Kapal tersebut mengangkut seorang utusan Makedonia dan duta besar Kartago yang membawa sebuah perjanjian yang disusun oleh Hanibal Barka; perjanjian tersebut mengumandangkan persekutuan antara Kartago dengan Filipos V.[172] Perjanjian ini juga menyatakan bahwa Kartago berhak menentukan ketentuan-ketentuan menyerahnya Romawi apabila mereka berhasil memenangkan perang, dan Kartago juga menjanjikan bantuan apabila Romawi mencoba menuntut balas terhadap Makedonia atau Kartago.[173] Meskipun Makedonia mungkin hanya ingin mengamankan wilayah yang baru mereka taklukan di Iliria,[174] Romawi berhasil menggagalkan ambisi Filipos V di kawasan Adriatik selama Perang Makedonia Pertama (214–205 SM). Pada 214 SM, Romawi menempatkan armadanya di Orikos, dan Makedonia kemudian menyerang armada tersebut sekaligus kota Apolonia di Iliria.[175] Setelah Makedonia menaklukkan Lisos pada 212 SM, Senat Romawi membalasnya dengan menghasut Liga Aitolia, Sparta, Elis, Mesinia, dan Atalos I (m. 241 SM – 197 SM) dari Pergamon untuk mengobarkan perang melawan Filipos V, alhasil pasukan Makedonia disibukkan di Yunani dan dapat dijauhkan dari wilayah Italia.[176]
Liga Aitolia menyetujui sebuah perjanjian perdamaian dengan Filipos V pada 206 SM, dan Republik Romawi juga menyepakati Perjanjian Foinike dengan Makedonia pada 205 SM, sehingga perang berakhir dan Makedonia diperbolehkan mempertahankan beberapa permukiman yang telah direbut di Iliria.[177] Meskipun Romawi menolak permintaan Aitolia pada 202 SM agar Romawi kembali mengobarkan perang melawan Makedonia, Senat Romawi sangat mempertimbangkan tawaran serupa yang diajukan oleh Pergamon dan sekutunya, Rodos, pada 201 SM.[178] Negara-negara ini merasa khawatir dengan persekutuan antara Filipos V dan Antiokos III Agung dari Kekaisaran Seleukia; Seleukia sendiri telah menyerang Dinasti Ptolemaik yang sudah dilelahkan oleh perang dan juga kehabisan dana selama Perang Siria Kelima (202–195 SM), sementara Filipos V merebut permukiman-permukiman Ptolemaik di kawasan Laut Aegea.[179] Walaupun para utusan Romawi berperan penting dalam meyakinkan Atena untuk bergabung dengan persekutuan anti-Makedonia bersama dengan Pergamon dan Rodos pada 200 SM, comitia centuriata (majelis rakyat) menolak usulan Senat Romawi untuk menyatakan perang terhadap Makedonia.[180] Sementara itu, Filipos V menaklukkan wilayah-wilayah di Helespontos dan Bosporos serta Samos Ptolemaik, sehingga Rodos membentuk sebuah persekutuan dengan Pergamon, Bizantion, Kizikos, dan Kios.[181] Meskipun Filipos V didukung oleh Seleukia, armada Makedonia mengalami kekalahan dalam Pertempuran Kios pada 201 SM.[182]
Saat Filipos V sedang disibukkan dengan perang melawan sekutu-sekutu Romawi di Yunani, Romawi mencoba memanfaatkan kesempatan ini untuk menghukum Makedonia karena mereka telah membantu Hanibal sekaligus untuk memperoleh kemenangan yang gemilang tanpa perlu mengeluarkan banyak sumber daya.[catatan 11] Senat Romawi menuntut agar Filipos V berhenti bertikai dengan negara-negara Yunani dan menyelesaikan perselisihan dengan membawa perkara ke komite arbitrasi internasional.[183] Setelah comitia centuriata menyetujui pernyataan perang terhadap Makedonia pada tahun 200 SM dan menyerahkan ultimatum kepada Filipos V yang menuntut agar kerugian yang dialami oleh Rodos dan Pergamon ditinjau oleh pengadilan, raja Makedonia menolak mentah-mentah ancaman tersebut. Perang Makedonia Kedua (200–197 SM) pun meletus, dan Publius Sulpisius Galba Maksimus kemudian memimpin operasi-operasi militer di Apolonia.[184]
Pasukan Makedonia berhasil mempertahankan wilayah mereka sepanjang hampir dua tahun,[185] namun konsul Romawi Titus Quinctius Flamininus berhasil mengusir Filipos V dari Makedonia pada 198 SM, sehingga pasukan Filipos V terpaksa mengungsi ke Tesalia.[186] Ketika Liga Akaya membelot dan mulai mendukung Romawi, raja Makedonia meminta berdamai, tetapi ketentuan-ketentuan yang ditawarkan oleh lawan dianggap terlalu berat, dan sehingga perang berlanjut.[186] Pada Juni 197 SM, pasukan Makedonia dikalahkan dalam Pertempuran Kinoskefalon.[187] Romawi kemudian meratifikasi sebuah perjanjian yang memaksa Makedonia untuk melepaskan sebagian besar wilayah-wilayahnya di Yunani yang berada di luar wilayah utama Makedonia, dan mungkin Romawi membiarkan Makedonia tetap berdiri hanya sebagai wilayah pembatas dari serangan suku-suku Iliria dan Trakia.[188] Meskipun beberapa orang Yunani curiga bahwa Romawi ingin menggantikan Makedonia sebagai kekuatan yang dominan di Yunani, Flaminius mengumumkan saat Pesta Olahraga Istmia pada tahun 196 SM bahwa Roma berniat untuk tetap mempertahankan kemerdekaan Yunani dengan tidak menempatkan garnisun dan juga dengan tidak memungut upeti.[189] Pemenuhan janjinya sempat tertunda oleh proses perundingan dengan raja Sparta Nabis yang telah menaklukkan Argos, tetapi pada akhirnya pasukan Romawi mundur dari Yunani pada tahun 194 SM.[190]
Raja Seleukia Antiokos III merasa terdorong dengan seruan Liga Aitolia untuk membebaskan Yunani dari Romawi, sehingga ia dan pasukannya mendarat di Demetrias, Tesalia, pada 192 SM, dan dipilih menjadi strategos oleh Aitolia.[191] Makedonia, Liga Akaya, dan negara-negara kota Yunani lainnya masih tetap mempertahankan persekutuan mereka dengan Romawi.[192] Pasukan Romawi berhasil mengalahkan pasukan Seleukia pada 191 SM dalam Pertempuran Termopilai serta Pertempuran Magnesia pada 190 SM, alhasil Seleukia terpaksa menandatangani Traktat Apamea pada 188 SM yang mewajibkan mereka untuk membayarkan pampasan perang, membubarkan sebagian besar angkatan lautnya, dan mencabut klaimnya atas wilayah-wilayah di sebelah utara atau barat Pegunungan Tauros.[193] Dengan persetujuan dari Romawi, pada 191–189 SM, Filipos V merebut beberapa kota di Yunani tengah yang pernah bersekutu dengan Antiokos III, sementara Rodos dan Eumenes II (m. 197 SM – 159 SM) dari Pergamon memperoleh wilayah di Asia Kecil.[194]
Setelah gagal memuaskan semua pihak yang terlibat dalam berbagai persengketaan wilayah, Senat Romawi memutuskan pada 184/183 SM untuk memaksa Filipos V meninggalkan Ainos dan Maronea, karena wilayah tersebut telah dinyatakan sebagai kota merdeka dalam Perjanjian Apamea.[catatan 12] Tindakan ini meredakan ketakutan Eumenes II akan ancaman Makedonia terhadap wilayah Eumenes II di Helespontos.[195] Sementara itu, Filipos V mangkat pada tahun 179 SM dan digantikan oleh Perseus dari Makedonia (m. 179 SM – 168 SM). Perseus kemudian menghukum mati adiknya sendiri, Demetrios, yang disukai oleh Romawi namun didakwa melakukan pengkhianatan oleh Perseus.[196] Perseus lalu berupaya membentuk persekutuan dengan Prusias II dari Kerajaan Bitinia dan Seleukos IV Philopator dari Seleukia dengan mengusulkan pernikahan, dan ia juga memperbaharui hubungan dengan Rodos, tetapi tindakan ini membuat khawatir Eumenes II.[197] Eumenes II mencoba merusak hubungan-hubungan ini, tetapi Perseus berhasil bersekutu dengan Liga Boiotia, memperluas kekuasaannya di Iliria dan Trakia, dan pada 174 SM juga dipilih sebagai anggota Dewan Amfiktonia yang mengurus Kuil Apolo di Delfi.[198]
Eumenes II tiba di Roma pada 172 SM dan menyampaikan sebuah pidato di hadapan Senat yang mengecam kejahatan dan pelanggaran yang konon telah dilakukan oleh Perseus.[199] Akibatnya, Senat Romawi mengumandangkan Perang Makedonia Ketiga (171–168 SM).[catatan 13] Meskipun pasukan Perseus berhasil memperoleh kemenangan melawan pasukan Romawi dalam Pertempuran Kalinikos pada 171 SM, Makedonia mengalami kekalahan dalam Pertempuran Pidna pada Juni 168 SM.[200] Perseus melarikan diri ke Samotrakia, tetapi ia menyerahkan diri tak lama setelahnya; ia lalu dibawa ke Roma untuk mengikuti pawai kemenangan Lusius Emilius Paulus Makedonikus, dan kemudian dijadikan tahanan rumah di Alba Fucens hingga ia tutup usia pada 166 SM.[201] Romawi membubarkan monarki Makedonia dan menggantikannya dengan empat republik yang terpisah, masing-masing beribu kota di Amfipolis, Tesalonika, Pela, dan Pelagonia.[202] Romawi memberlakukan hukum-hukum yang menghalangi interaksi ekonomi dan sosial di antara penduduk-penduduk republik-republik tersebut, termasuk larangan pernikahan di antara mereka dan larangan (sementara) terhadap penambangan emas dan perak.[202] Kemudian, seseorang yang bernama Andriskos mengklaim dirinya sebagai keturunan Antigonidai, memberontak melawan Romawi, dan diangkat menjadi raja Makedonia. Ia berhasil mengalahkan pasukan praetor Romawi yang dipimpin oleh Publius Yuvensius Talna,[203] tetapi ia dikalahkan oleh Kuintus Sesilius Metelus Makedonus dalam Pertempuran Pidna Kedua pada 148 SM.[204] Kemudian Romawi juga berhasil menghancurkan kota Kartago pada tahun 146 SM dan mengalahkan Liga Akaya dalam Pertempuran Korintos pada tahun yang sama, sehingga dimulailah era kekuasaan Romawi di Yunani dan didirikanlah provinsi Makedonia Romawi secara bertahap.[205]
Institusi
Pembagian kekuasaan
Kepala pemerintahan Makedonia adalah raja (basileus).[catatan 14] Paling tidak dari masa pemerintahan Filipos II, raja dibantu oleh hamba kerajaan (basilikoi paides), pengawal (somatofilakes), sahabat (hetairoi), teman (filoi), sebuah majelis yang meliputi para anggota militer, dan (pada masa Helenistik) magistrat.[206] Kurang terdapat bukti yang dapat memastikan apakah terdapat pembagian wewenang di antara raja dengan kelompok-kelompok tersebut, dan apakah keberadaan kelompok-kelompok tersebut dilandaskan pada sebuah kerangka konstitusi resmi.[catatan 15] Sebelum masa pemerintahan Filipos II, satu-satunya lembaga yang dapat dibuktikan keberadaannya lewat bukti-bukti tekstual adalah lembaga monarki.[catatan 16]
Jabatan raja dan pemerintahan kerajaan
Jenis pemerintahan paling awal yang diketahui keberadaannya di Makedonia adalah sistem monarki yang berdiri hingga sistem tersebut dibubarkan oleh Romawi pada tahun 167 SM.[207] Monarki di Makedonia sudah ada paling tidak dari zaman Yunani Arkais, dan kelompok ningratnya mungkin sudah mengakar dari zaman Yunani Mikenai.[208] Tukidides menulis bahwa pada zaman sebelumnya, Makedonia terbagi menjadi suku-suku kecil, dan masing-masing memiliki rajanya sendiri, tetapi kemudian suku-suku Makedonia Hilir disatukan oleh satu raja besar yang juga berkuasa di atas raja-raja kecil di Makedonia Hulu.[13] Garis keturunan bapak-anak di Kerajaan Makedonia terputus setelah pembunuhan Orestes dari Makedonia pada 396 SM (diduga dilakukan oleh walinya yang lalu menjadi penggantinya, Aeropos II dari Makedonia), alhasil muncul perdebatan di kalangan sejarawan modern mengenai apakah pewarisan kepada anak sulung laki-laki merupakan adat yang sudah ada dari sebelumnya, atau apakah memang terdapat hak konstitusional bagi majelis tentara atau rakyat untuk memilih raja yang lain.[209] Tidak diketahui secara pasti apakah anak laki-laki ratu akan selalu diutamakan daripada yang lainnya mengingat Arkelaos I dari Makedonia (anak Perdikas II dan seorang budak wanita) dapat naik takhta, walaupun Arkelaos sendiri berkuasa setelah membunuh pewaris takhta yang ditunjuk oleh ayahnya.[210]
Raja-raja Makedonia sebelum Filipos II bertanggung jawab menyambut para diplomat asing, menentukan kebijakan luar negeri kerajaan, dan merundingkan persekutuan dengan negara-negara asing.[211] Setelah Yunani menang di Salamis pada tahun 480 SM, komandan Persia Mardonios mengirim Aleksander I dari Makedonia ke Atena sebagai utusan utama dengan maksud untuk membahas kemungkinan pembentukan persekutuan antara Akemeniyah dengan Atena. Keputusan untuk mengirim Aleksander didasarkan pada pernikahannya dengan keluarga bangsawan Persia dan hubungan resminya dengan negara-kota Atena.[211] Sementara itu, raja-raja Makedonia juga mengendalikan sumber daya alam di negaranya, termasuk emas, perak, kayu, dan tanah kerajaan, sehingga mereka dapat menyogok orang-orang di dalam dan luar negeri dengan hadiah-hadiah yang luar biasa.[212]
Tidak banyak yang diketahui mengenai sistem kehakiman di Makedonia Kuno selain fakta bahwa raja bertindak sebagai kepala hakim di kerajaan.[213] Raja-raja Makedonia juga menjadi panglima tertinggi militer.[catatan 17] Sementara itu, Filipos II menjadi sosok yang sangat terpandang karena ia menjalankan tugasnya sebagai imam agung negara dengan penuh kesalehan. Ia melakukan ritual pengorbanan setiap harinya dan juga memimpin perayaan keagamaan.[214] Aleksander meniru berbagi aspek pemerintahan ayahnya, seperti pemberian tanah dan hadiah kepada para pengikut dari golongan ningrat yang setia,[214] namun ia kehilangan dukungan dari mereka setelah ia mulai menerapkan kebiasaan-kebiasaan Persia, seperti hubungan "tuan dan hamba" (seperti yang diamati oleh Carol J. King) ketimbang hubungan "rekan seperjuangan" yang telah menjadi hubungan tradisional raja-raja Makedonia dengan sahabat-sahabat mereka.[215] Walaupun begitu, ayah Aleksander, Filipos II, diduga dipengaruhi oleh tradisi-tradisi Persia saat ia mendirikan lembaga-lembaga yang mirip dengan yang dapat ditemukan di Akemeniyah, seperti sekretaris kerajaan, arsip kerajaan, dan hamba muda.[216]
Hamba muda
Hamba-hamba muda adalah remaja laki-laki dan pria muda yang diambil dari rumah tangga ningrat dan mungkin sudah melayani raja-raja Makedonia dari masa pemerintahan Filipos II, meskipun bukti yang lebih kuat mengenai keberadaan mereka di istana kerajaan berasal dari masa pemerintahan Aleksander Agung.[catatan 18] Hamba-hamba muda kerajaan tidak terlibat langsung dalam politik tingkat tinggi dan mereka dibawa ke istana dengan maksud untuk memperkenalkan kehidupan politik kepada mereka.[217] Setelah masa pelatihan dan pelayanan, para hamba muda diangkat menjadi pengiring raja.[218] Pada masa pelatihan, mereka ditugaskan menjaga raja saat ia tidur, menyediakan kuda untuknya, membantunya menaiki kuda, menemaninya saat berburu, dan melayaninya selama simposia (pesta minum-minum resmi).[219] Walaupun hamba-hamba muda yang dibawa ke istana dapat meniti karier seumur hidup di istana atau bahkan memperoleh jabatan gubernur, mereka juga dapat dianggap sebagai sandera yang ditawan oleh istana untuk memastikan agar ayah mereka tetap setia dan patuh kepada raja.[220] Penghukuman para hamba muda dengan cara yang kasar (seperti pencambukan) telah memicu intrik dan persekongkolan melawan raja, dan begitu pula hubungan homoseksual antara para hamba muda dengan elit (atau bahkan dengan raja).[221] Pada masa Antigonidai, tidak terdapat banyak bukti mengenai keberadaan hamba muda di istana, tetapi terdapat sekelompok hamba muda yang melarikan diri bersama dengan Perseus dari Makedonia ke Samothraki setelah ia dikalahkan oleh Romawi pada tahun 168 SM.[222]
Pengawal
Pengawal merupakan orang-orang terdekat raja di istana maupun di medan tempur.[217] Mereka terbagi menjadi dua kategori: agema dari hipaspistai, yaitu sejenis pasukan khusus pada zaman kuno yang biasanya berjumlah ratusan, dan kelompok pasukan yang lebih kecil dan dipilih langsung oleh raja, baik itu karena bakat mereka maupun untuk menghormati keluarga mereka.[217] Maka dari itu, para pengawal (yang terbatas jumlahnya) tidak selalu bertanggung jawab melindungi nyawa raja di medan tempur maupun dalam keadaan damai; gelar dan jabatan mereka lebih menjadi tanda kekhasan, yang mungkin dimaksudkan untuk menghentikan persaingan di antara keluarga-keluarga ningrat.[217]
Sahabat, teman, dewan, dan majelis
Para sahabat (termasuk kavaleri elit dan infanteri pezhetairoi) mewakili sebuah kelompok yang lebih besar jumlahnya ketimbang para pengawal raja.[catatan 19] Para sahabat dengan pangkat paling tinggi dan yang paling dipercayai oleh raja membentuk sebuah dewan yang berperan sebagai badan penasihat untuk raja.[223] Namun, hanya ada sedikit bukti yang menunjukkan keberadaan sebuah majelis tentara pada masa-masa perang dan majelis rakyat pada masa-masa damai.[catatan 20]
Para anggota dewan memiliki hak untuk berbicara; meskipun tak ada bukti langsung yang menunjukkan bahwa mereka dapat memberikan suara terkait dengan urusan negara, paling tidak raja kadang-kadang terpaksa memenuhi tuntutan-tuntutan mereka.[224] Majelis tampaknya diberi hak untuk menghakimi perkara pengkhianatan terhadap negara dan menjatuhkan hukuman kepada mereka, seperti saat Aleksander Agung bertindak sebagai jaksa penuntut dalam sidang tiga orang yang didakwa bersekongkol membunuh ayahnya (sementara banyak orang lainnya yang dibebaskan dari segala tuduhan).[225] Namun, tidak terdapat cukup bukti yang menunjukkan bahwa lembaga dewan dan majelis terus dipertahankan atau dilandaskan pada konstitusi, dan keputusan mereka mungkin juga tidak selalu diterima oleh raja.[226] Sepeninggalan Aleksander Agung, para sahabatnya langsung membentuk sebuah dewan untuk mengambil alih pemerintahan, tetapi kemudian terkendala oleh konflik bersenjata di antara para anggotanya.[227] Sementara itu, militer sendiri sering kali memberontak untuk mencapai tujuan politik mereka.[catatan 21]
Magistrat, persemakmuran, pemerintahan setempat, dan negara sekutu
Raja-raja Makedonia dari Dinasti Antigonidai dibantu oleh para pejabat regional dalam mengatur urusan negara,[228] termasuk pejabat-pejabat kota berpangkat tinggi, seperti strategos militer dan politarkh atau gubernur yang dipilih (arkhon) dari sebuah kota besar (polis), serta pejabat politik-keagamaan yang disebut epistates.[catatan 22] Tak ada bukti yang menjelaskan latar belakang pribadi para pejabat tersebut, meskipun mereka mungkin juga berasal dari golongan ningrat filoi dan hetairoi.[213]
Di Atena Kuno, sistem demokrasi pernah didirikan kembali sebanyak tiga kali setelah kota tersebut ditaklukkan oleh Antipatros pada 322 SM.[229] Saat berada di bawah kekuasaan Makedonia, Atena diperintah oleh sebuah oligarki yang diangkat oleh Makedonia dan terdiri dari orang-orang terkaya di kota tersebut.[catatan 23] Negara kota lainnya diperlakukan secara berbeda dan dianugerahi otonomi yang lebih besar.[230] Setelah Filipos II menaklukkan Amfipolis pada 357 SM, kota tersebut diperbolehkan mempertahankan sistem demokrasi, termasuk konstitusi, majelis rakyat, dewan kota (boule), dan pemilihan tahunan pejabat baru, tetapi garnisun Makedonia ditempatkan di dalam tembok kota bersama dengan seorang komisioner kerajaan Makedonia (epistates) untuk memantau urusan politik di kota tersebut.[231] Filipi, sebuah kota yang didirikan oleh Filipos II, merupakan satu-satunya kota lainnya di persemakmuran Makedonia yang memiliki sistem pemerintahan demokratis dengan keberadaan majelis rakyat, sementara majelis (eklesia) di Tesaloniki tampaknya hanya memiliki peranan yang bersifat pasif.[232] Beberapa kota juga diperbolehkan menyimpan pendapatannya sendiri.[230] Raja Makedonia dan pemerintah pusat sendiri mengelola pendapatan yang dikumpulkan oleh kuil-kuil dan para imam.[233]
Terdapat beberapa bukti dari abad ke-3 SM yang menunjukkan bahwa di dalam persemakmuran Makedonia, hubungan luar negeri diurus oleh pemerintah pusat. Meskipun kota-kota Makedonia turut serta dalam ajang-ajang Panhelenik sebagai entitas-entitas independen, pada kenyataannya pemberian asilia (kekebalan diplomatik dan hak suaka di tempat suci) kepada kota-kota tertentu diurus secara langsung oleh raja.[234] Sementara itu, negara kota yang tergabung ke dalam koina (dalam kata lain federasi kota negara, simpoliteia) Yunani yang sezaman dengan Makedonia mematuhi dekret-dekret federal yang disetujui secara kolektif oleh anggota-anggota liga.[catatan 24] Di negara kota yang tergabung ke dalam liga atau persemakmuran, hak untuk memberikan proxenia (dalam kata lain, penerimaan duta besar asing) biasanya merupakan hak yang dimiliki oleh pemerintah setempat sekaligus pusat.[235] Banyak bukti yang menunjukkan bahwa penganugerahan proxenia adalah prerogatif eksklusif pemerintah pusat di Liga Epiros, dan beberapa bukti juga mengindikasikan bahwa hal serupa berlaku untuk persemakmuran Makedonia,[236] sementara negara kota yang bersekutu dengan Makedonia mengeluarkan dekret-dekret mereka sendiri yang terkait dengan proxenia.[237]
Liga-liga asing juga pernah membentuk persekutuan dengan raja-raja Makedonia, seperti saat Liga Kreta menandatangani perjanjian dengan Demetrios II Aitolikos dan Antigonos III Doson yang memastikan perekrutan tentara bayaran Kreta ke dalam militer Makedonia, dan memilih Filipos V dari Makedonia sebagai pelindung kehormatan (prostates) liga tersebut.[238]
Militer
Pasukan Makedonia awal
Struktur dasar pasukan Makedonia Kuno adalah pembagian antara kavaleri (hetairoi) dan infanteri (pezhetairoi), yang dilengkapi dengan pasukan-pasukan sekutu, prajurit asing, dan tentara bayaran.[239] Infanteri mungkin sudah ada sejak masa pemerintahan Aleksander I dari Makedon.[240] Kavaleri Makedonia (yang mengenakan kuiras otot) mulai naik daun di Yunani pada masa Perang Peloponesos.[241] Infanteri Makedonia pada masa ini terdiri dari para gembala dan petani yang kurang terlatih, sementara anggota-anggota kavaleri berasal dari golongan bangsawan.[242] Seperti yang dapat dilihat dalam karya seni dari awal abad ke-4 SM, terdapat pengaruh Sparta yang menonjol pada pasukan Makedonia sebelum masa Filipos II.[243] Nicholas Viktor Sekunda menyatakan bahwa pada permulaan masa kekuasaan Filipos II pada 359 SM, pasukan Makedonia terdiri dari 10.000 infanteri dan 600 kavaleri,[244] sementara Malcolm Errington memperingatkan bahwa angka yang dikutip oleh para penulis dari zaman kuno sebaiknya tidak asal diterima begitu saja.[245]
Filipos II dan Aleksander Agung
Setelah menjadi sandera politik selama bertahun-tahun di Tivai, Filipos II ingin meniru contoh latihan militer dan pemberian perlengkapan standar untuk pasukan, dan ia kemudian berhasil mengubah militer Makedonia dari pasukan yang terdiri dari para petani yang tidak profesional, menjadi pasukan yang sepenuhnya profesional dan terlatih dengan baik.[246] Filipos II menerapkan beberapa taktik militer musuhnya, seperti formasi kavaleri embolon dari bangsa Skitia.[247] Infanterinya memegang perisai peltai yang menggantikan perisai bergaya hoplon dari masa sebelumnya, dan mereka juga dilengkapi dengan ketopong pelindung, pelindung kaki, dan perisai dada kuiras atau perisai perut kotibos; selain itu, mereka dipersenjatai dengan tembiang sarissa ditambah dengan belati sebagai senjata kedua.[catatan 25] Infanteri elit hipaspistai, yang terdiri dari pasukan berpangkat pezhetairoi, dibentuk pada masa kekuasaan Filipos II dan tampaknya masih dikerahkan pada masa kekuasaan Aleksander Agung.[248] Filipos II kemungkinan juga merupakan orang yang mendirikan satuan pengawal kerajaan (somatofilakes).[249]
Untuk pasukan penembak ringan, Filipos II mempekerjakan pemanah-pemanah Kreta serta para pemanah, pelempar lembing, dan pelempar umban dari Trakia, Paionia, dan Iliria.[250] Ia juga menggunakan jasa para teknisi seperti Polidos dari Tesalia dan Diades dari Pela, yang mampu membangun mesin kepung yang paling terkini pada masa itu dan juga artileri yang menembakkan busur besar.[247] Setelah Makedonia menguasai tambang-tambang di Krinides (lalu diganti namanya menjadi Filipi), kerajaan tersebut mampu menanggung biaya militer profesional permanen.[251] Meningkatnya pendapatan negara di bawah kekuasaan Filipos II juga memungkinkan pembentukan angkatan laut kecil untuk pertama kalinya, yang meliputi kapal-kapal trireme.[252]
Satu-satunya satuan kavaleri Makedonia yang tercatat keberadaannya pada masa kekuasaan Aleksander Agung adalah kavaleri hetairoi,[249] tetapi ia juga membentuk sebuah hiparkia (satuan yang terdiri dari ratusan pasukan berkuda) yang secara keseluruhan terdiri dari orang Persia pada saat ia sedang berperang di Asia.[253] Ketika pasukannya sedang bergerak menuju Asia, Aleksander juga membawa 1.800 pasukan kavaleri dari Makedonia, 1.800 pasukan kavaleri dari Tesalia, 600 pasukan kavaleri dari wilayah Yunani lainnya, dan 900 kavaleri prodromoi dari Trakia.[254] Sementara itu, Antipatros dapat dengan cepat menghimpun 600 pasukan kavaleri Makedonia asli untuk bertarung dalam Perang Lamia saat perang tersebut dimulai pada 323 SM.[254] Sebagian besar anggota elit hipaspistai pimpinan Aleksander disebut agema, dan sebuah istilah baru untuk hipaspistai muncul setelah Pertempuran Gaugamela pada 331 SM, yaitu argiraspides (perisai perak).[255] Argiraspides masih bertugas setelah masa pemerintahan Aleksander Agung dan mungkin berasal dari Asia.[catatan 26] Secara keseluruhan, infanteri falangs bersenjatakan tembiang pada masa Aleksander berjumlah sekitar 12.000 orang, 3.000 di antaranya adalah hipaspistai elit dan 9.000 di antaranya adalah pezhetairoi.[catatan 27] Aleksander masih menggunakan jasa para pemanah Kreta dan juga mulai merekrut pemanah asli Makedonia.[256] Seusai Pertempuran Gaugamela, pemanah yang memiliki latar belakang Asia Barat sering ditemui di dalam pasukan Aleksander.[256]
Militer zaman Antigonidai
Pasukan Makedonia masih terus mengalami perubahan pada masa Dinasti Antigonidai. Tidak diketahui secara pasti berapa banyak orang yang diangkat menjadi somatofilakes, yang berjumlah delapan orang pada akhir pada pemerintahan Aleksander Agung, sementara hipaspistai tampaknya telah berubah menjadi asisten somatofilakes.[catatan 28] Dalam Pertempuran Kinoskefalon pada 197 SM, militer Makedonia memiliki sekitar 16.000 pasukan falangs.[257] Regu kavaleri hetairoi pada masa Aleksander terdiri dari 800 orang, dan jumlahnya juga sama untuk pasukan kavaleri di dalam skuadron suci (Latin: sacra ala; Yunani: hiera ile) yang dikomandani oleh Filipos V dari Makedonia selama Perang Sosial pada 219 SM.[258] Kavaleri Makedonia biasa berjumlah 3.000 di Kalinikos, yang terpisah dari skuadron suci dan kavaleri kerajaan.[258]
Berkat inskripsi-inskripsi dari Amfipolis tahun 218 SM dan dari Greia tahun 181 SM, para sejarawan dapat mengumpulkan dan merangkai informasi mengenai susunan militer Antigonidai pada masa kekuasaan Filipos V.[catatan 29] Setidaknya dari zaman Antigonos III Doson, sebagian besar anggota infanteri elit merupakan prajurit peltastes, yaitu pasukan yang lebih ringan dan lebih bermanuver dengan senjata berupa lembing peltai, pedang, dan perisai perunggu yang lebih kecil ketimbang perisai milik falangs Makedonia (meskipun mereka kadang-kadang mereka juga memiliki peranan seperti falangs).[catatan 30] Di antara para peltastes, terdapat sekitar 2.000 orang yang terpilih untuk bertugas di dalam pasukan elit agema, sementara anggota peltast lainnya berjumlah sekitar 3.000 orang.[259] Jumlah peltastes berubah-ubah seiring berjalannya waktu, dan mungkin tak pernah lebih dari 5.000 orang.[catatan 31] Mereka bertarung bersama dengan pasukan falangs, dan pasukan falangs sendiri pada masa itu sudah terbagi menjadi khalkaspides (perisai perunggu) dan leukaspides (perisai putih).[260]
Raja-raja Antigonidai terus memperbesar dan memperkuat angkatan laut mereka.[261] Kasandros mempertahankan sebuah armada kecil di Pidna, Demetrios I dari Makedonia memiliki satu armada di Pela, dan Antigonos II Gonatas (saat mengabdi sebagai seorang jenderal untuk Demetrios di Yunani) menggunakan angkatan laut untuk mengamankan wilayah Makedonia di Demetrias, Kalkis, Pireas, dan Korintos.[262] Angkatan laut semakin diperbesar pada masa Perang Kremonides (267–261 SM), sehingga angkatan laut Makedonia dapat mengalahkan angkatan laut Mesir Ptolemaik dalam Pertempuran Kos tahun 255 SM dan Pertempuran Andros tahun 245 SM, dan juga memperluas pengaruh Makedonia hingga ke Kiklades.[262] Antigonos III Doson menggunakan angkatan laut Makedonia untuk menyerang Karia, sementara Filipos V mengirim 200 kapal untuk bertarung dalam Pertempuran Kios pada 201 SM.[262] Angkatan laut Makedonia dikurangi menjadi enam kapal saja sesuai dengan isi perjanjian perdamaian tahun 197 SM yang mengakhiri Perang Makedonia Kedua dengan Republik Romawi, meskipun Perseus dari Makedonia dengan cepat menghimpun beberapa kapal lemboi saat pecahnya Perang Makedonia Ketiga pada 171 SM.[262]
Masyarakat dan budaya
Bahasa dan dialek
Setelah bahasa Yunani Koine dijadikan bahasa resmi pemerintahan Filipos II dari Makedonia, para penulis Makedonia kuno menulis karya-karya mereka dalam bahasa tersebut; bahasa ini sendiri merupakan lingua franca pada masa Yunani Klasik akhir dan Helenistik.[catatan 32] Bukti tekstual yang langka menunjukkan bahwa bahasa Makedonia Kuno adalah sebuah dialek bahasa Yunani yang mirip dengan bahasa Yunani Tesalia dan bahasa Yunani Barat Laut,[catatan 33] atau sebuah bahasa yang berhubungan erat dengan bahasa Yunani.[catatan 34] Kebanyakan inskripsi yang masih ada dari Makedonia kuno ditulis dalam bahasa Yunani Atika dan penerusnya, bahasa Koine.[263] Bahasa Yunani Atika (dan kemudian Koine) merupakan bahasa yang digunakan oleh prajurit Makedonia kuno, meskipun Aleksander Agung pernah menyerukan sebuah perintah darurat dalam bahasa Makedonia kepada para penjaga kerajaannya setelah ia membunuh Kleitos yang Hitam pada saat pesta minum-minum.[264] Bahasa Makedonia mengalami kepunahan pada zaman Helenistik atau Romawi dan digantikan oleh bahasa Yunani Koine.[265]
Kepercayaan agama dan praktik pemakaman
Pada abad ke-5 SM, orang Makedonia menyembah dewa-dewi Yunani yang kurang lebih sama dengan yang dipuja oleh orang-orang di selatan Yunani.[267] Di Makedonia, jabatan-jabatan politik dan keagamaan sering kali berkaitan. Contohnya, kepala negara kota Amfipolis juga menjabat sebagai pemimpin pemujaan Asklepios, dewa pengobatan Yunani; hal serupa juga dapat ditemui di Kassandreia, mengingat seorang pemimpin kultus yang menghormati pendiri kota tersebut (Kassandros) juga merupakan seorang pemimpin kota.[268] Dewa Zeus banyak dipuja di Dion, sementara terdapat pula tempat suci di Veria yang dipersembahkan untuk Herakles dan didukung oleh Demetrios II Aetolikos (m. 239 SM – 229 SM).[269] Kultus-kultus dari Mesir juga pernah menyebar ke Makedonia, dan kuil Serapis sudah ada di Thessaloniki paling tidak dari tahun 187 SM.[270] Selain itu, Makedonia membina hubungan yang baik dengan kultus "internasional" non-Makedonia; misalnya, Raja Filipos III dari Makedonia dan Aleksander IV dari Makedonia memberikan persembahan kepada kawasan kuil Samotraki yang merupakan tempat berlangsungnya kultus misteri Kabiroi.[270]
Para pelukis profesional menghias tembok-tembok tiga makam kerajaan di Vergina dengan adegan mitologi Hades yang menculik Persefon serta adegan perburuan oleh raja. Barang-barang yang diletakkan di dalam makam meliputi persenjataan, bejana untuk minum, dan barang-barang pribadi, sementara tulang-tulangnya sendiri dibakar sebelum dikubur di dalam peti-peti emas.[271] Beberapa barang dan hiasan makam juga sering ditemui di makam-makam Makedonia lainnya, tetapi barang-barang yang ditemukan di Vergina jelas-jelas merupakan barang-barang kerajaan, yang meliputi sebuah diadem, barang-barang mewah, dan baju zirah.[272] Para ahli masih memperdebatkan identitas orang yang disemayamkan di makam tersebut semenjak penemuannya pada tahun 1977–1978,[273] dan hasil penelitian dan uji forensik terkini menunjukkan bahwa salah satu orang yang dimakamkan di tempat tersebut adalah Filipos II.[catatan 35] Di dekat Makam 1 juga terdapat reruntuhan sebuah heroon yang terletak di atas tanah; heroon sendiri merupakan sebuah altar yang digunakan untuk pemujaan kultus orang mati.[274] Pada tahun 2014, Makam Kasta dari masa Makedonia Kuno ditemukan di luar kita Amfipolis dan merupakan makam kuno terbesar yang ditemukan di Yunani (pada tahun 2017).[275]
Ekonomi dan kelas sosial
Pria Makedonia muda biasanya diharapkan untuk ikut serta dalam perburuan dan bela diri sebagai kegiatan sampingan selain hidup sebagai penggembala, sementara pengembangbiakan kuda dan berternak sapi juga merupakan mata pencaharian yang umum.[276] Beberapa orang Makedonia melakukan pertanian, sering kali dengan irigasi, reklamasi lahan, dan kegiatan hortikultura yang didukung oleh negara Makedonia.[catatan 36] Ekonomi Makedonia dan keuangan negara ditopang oleh penebangan kayu dan penambangan mineral berharga seperti tembaga, besi, emas, dan perak.[277] Pengolahan bahan mentah menjadi produk jadi dan penjualan produk tersebut mendorong pertumbuhan kota-kota dan semenjak abad ke-5 SM juga mengakibatkan peralihan secara bertahap dari gaya hidup tradisional Makedonia menjadi gaya hidup perkotaan.[278]
Raja Makedonia adalah sosok otokrat di puncak pemerintahan dan masyarakat, dengan wewenang tak terbatas untuk mengatur urusan negara dan kebijakan publik, tetapi ia juga menjadi pemimpin suatu rezim yang sangat personal yang memiliki hubungan erat dengan hetairoi-nya.[279] Kelompok ningrat tersebut merupakan yang terkuat kedua setelah raja dalam hal kekuasaan dan hak istimewa, dan mereka mengisi pemerintahan raja dan juga menjabat sebagai panglima dalam militer.[280] Sistem yang memungkinkan mobilitas sosial yang lebih besar bagi anggota masyarakat sendiri baru muncul di negara-negara Helenistik yang menjadi penerus Kekaisaran Aleksander Agung, khususnya Mesir Ptolemaik; negara-negara tersebut menjadi lebih birokratis kemungkinan karena golongan ningrat lama telah menyusut akibat kampanye militer yang dikobarkan oleh Aleksander dan penerus-penerusnya, dan dunia baru yang ditaklukkan oleh Aleksander juga terlalu luas untuk ditangani oleh golongan ningrat yang lama.[281] Sementara itu, walaupun Makedonia diperintah oleh seorang raja dan kelompok ningrat militer, perbudakan bukanlah praktik yang menyebarluas seperti di negara-negara Yunani yang sezaman dengan Makedonia.[282]
Seni rupa
Pada masa pemerintahan Arkelaos I di abad ke-5 SM, kelas elit Makedonia mengimpor adat istiadat dan tradisi kesenian dari kawasan Yunani lain. Namun demikian, mereka juga mempertahankan upacara pemakaman yang lebih kuno dan mungkin bersifat Homerik. Upacara pemakaman yang dipertahankan berkaitan dengan simposium, yang khas dengan barang-barang seperti krater logam dekoratif sebagai tempat penyimpanan abu almarhum bangsawan Makedonia.[283] Salah satu krater yang terkenal adalah Krater Derveni, terbuat dari perunggu berukuran besar, yang ditemukan di sebuah makam abad ke-4 SM dari Thessaloniki, dihiasi dengan adegan-adegan dari dewa Yunani Dionisos dan para pengikutnya. Krater ini dimiliki oleh seorang bangsawan yang berkarier di militer.[284] Kriya logam Makedonia biasanya mengikuti gaya bentuk jambangan Atena dari abad ke-6 SM dan seterusnya. Terdapat wadah minum, perhiasan, kontainer, mahkota, diadem, dan koin, yang ditemukan di makam-makam Makedonia.[285]
Seni lukis Makedonia yang masih ada meliputi fresko dan mural, serta hiasan untuk karya ukir seperti patung dan relief. Misalnya, masih ada warna pada relief bawah tanah Sarkofagus Aleksander dari akhir abad ke-4.[287] Para sejarawan dapat melacak gaya pakaian serta pakaian tentara yang dikenakan bangsa Makedonia kuno melalui lukisan-lukisan ini.[288] Selain kriya logam dan lukisan, karya seni Makedonia lain yang masih tersisa adalah mosaik.[285] Mosaik Perburuan Rusa Jantan dari Pela, yang bergaya ilusionis dan berilusi tiga dimensi, menampilkan pengaruh jelas dari seni lukis dan tren seni rupa Helenistik yang lebih besar, meskipun tema perburuan memang lebih digemari di Makedonia.[289] Mosaik Perburuan Singa Pela yang serupa menggambarkan adegan Aleksander Agung dengan sahabatnya Krateros, atau singkatnya merupakan sebuah penggambaran konvensional tentang hiburan kerajaan yaitu berburu.[289] Ada pula mosaik dengan tema mitologi, yang menggambarkan misalnya adegan Dionisius menunggangi seekor pantera dan Helene dari Troya diculik oleh Theseus. Mosaik Helene ini bergaya ilusionis dan realistis, mirip dengan seni lukis Makedonia.[289] Seni lukis dan mosaik Makedonia umumnya bertema perang, perburuan, dan seksualitas maskulin agresif (misalnya menculik wanita untuk diperkosa atau dinikahi); tema-tema ini kadang bergabung dalam sebuah karya tunggal dan mungkin mengindikasikan suatu hubungan metaforis.[catatan 37]
Hiburan panggung
Sebuah pertunjukan untuk merayakan pernikahan putri Filipos II, Cleopatra dari Makedon, diadakan di gedung teater Aigai, Makedonia saat Filipos II dibunuh pada 336 SM.[290] Aleksander Agung dikenal amat menyukai musik dan seni teater.[291] Ia terutama menyukai naskah-naskah drama dari Atena Klasik, seperti Aiskilos, Sofokles, dan Euripides. Karya-karya penulis tersebut dimasukkan dalam kurikulum bahasa Yunani untuk orang-orang dari timur Makedonia; termasuk pula di dalamnya adalah wiracarita karya Homeros.[292] Saat Aleksander dan pasukannya ditempatkan di Tiros (sekarang Lebanon), ia memerintahkan para jenderalnya untuk tidak hanya bertindak sebagai juri bagi kontes atletik, tetapi juga untuk pertunjukan teater tragedi Yunani.[293] Aktor-aktor yang waktu itu terkenal, seperti Thessalus dan Athenodorus, tampil di acara tersebut.[catatan 38]
Musik juga digemari di Makedonia. Salah satu simbol bahwa sebuah kota Yunani telah menjadi kota besar (selain agora, gimnasium, teater, biara, dan kuil untuk dewa-dewi Yunani) adalah keberadaan odeon untuk pertunjukan musik.[294] Hal ini tak hanya berlaku bagi Aleksandria di Mesir, tetapi juga kota-kota nun jauh seperti Ai-Khanoum yang terletak di daerah Afganistan kini.[294]
Sastra, pendidikan, filsafat, dan catatan sejarah
Perdikas II dari Makedonia menerima cendekiawan-cendekiawan Yunani Klasik yang tersohor di istana kerajaannya, seperti penyair Melanipides dan dokter terkenal Hipokrates; enkomion karya Pindaros yang ditulis untuk Raja Aleksander I dari Makedonia mungkin juga disusun di istana Perdikas II.[295] Arkelaos I menerima lebih banyak cendekiawan, seniman, dan selebriti Yunani ketimbang para pendahulunya.[296] Para tamu kehormatannya meliputi pelukis Zeuksis, arsitek Kalimakos, para penyair Koirilos dari Samos, Timoteos dari Miletos, dan Agaton, serta dramawan Atena terkenal Euripides.[catatan 39] Filsuf Aristoteles, yang menuntut ilmu di Akademi Platonik di Atena dan mendirikan aliran pemikiran Aristotelianisme, pindah ke Makedonia, dan dikatakan pernah membimbing Aleksander Agung, serta mengabdi sebagai diplomat untuk raja Filipos II.[297] Di antara para seniman, penulis, dan filsuf yang didukung oleh Aleksander juga terdapat Piron dari Elis, pendiri Pironisme yang merupakan mazhab skeptisisme filosofis.[292] Pada zaman Antigonidai, Antigonos Gonatas menjalin hubungan yang erat dengan Menedemos dari Eretria, yang merupakan pendiri mazhab Eretria, serta Zenon, pendiri Stoikisme.[291]
Terkait dengan historiografi Yunani awal dan historiografi Romawi akhir, Felix Jacoby dalam Fragmente der griechischen Historiker mencantumkan nama tiga belas sejarawan kuno yang menulis tentang Makedonia.[298] Selain catatan-catatan sejarah Herodotos dan Tukidides, karya-karya yang dikumpulkan oleh Jacoby hanyalah bersifat sepotong-sepotong, sementara karya-karya lainnya sudah hilang ditelan zaman, seperti sejarah perang Iliria yang dikobarkan oleh Perdikas III seperti yang ditulis oleh Antipatros.[299] Sejarawan Makedonia Marsias dari Pela dan Marsias dari Filipi menulis sejarah Makedonia, raja Ptolemaik Ptolemaios I Soter menulis sejarah tentang Aleksander, dan Hieronimos dari Kardia menulis sejarah tentang para penerus Aleksander.[catatan 40] Setelah kampanye militer yang dilancarkan oleh Aleksander di India, perwira militer Makedonia Nearkos menulis sebuah karya mengenai perjalanannya dari mulut sungai Indus menuju Teluk Persia.[300] Sejarawan Krateros asal Makedonia menerbitkan kumpulan dekret-dekret yang dikeluarkan oleh majelis rakyat dalam sistem demokrasi Atena saat ia sedang menuntut ilmu di sekolahan Aristoteles.[300] Filipos V dari Makedonia memerintahkan agar manuskrip-manuskrip tentang sejarah Filipos II yang disusun oleh Teopompos dikumpulkan oleh para cendekiawannya dan kemudian disalin untuk disebarluaskan.[291]
Ajang olahraga
Saat Aleksander I dari Makedonia meminta agar diperbolehkan turut serta dalam ajang balap lari Olimpiade Kuno, para penyelenggara ajang tersebut mula-mula menolak permintaannya, dengan alasan hanya orang-orang Yunani yang dapat ikut serta. Namun, Aleksander I menunjukkan bukti berupa silsilah kerajaan Argeadai dengan garis keturunan Temenos dari Argos, sehingga petugas Hellanodikai Olimpiade menerima bukti tersebut dan ia dinyatakan layak ikut serta.[301] Pada akhir abad ke-5 SM, raja Makedonia Arkelaos I dimahkotai dengan bumban zaitun di Olimpia dan Delfi (dalam ajang Pesta Olahraga Pitia) karena ia telah memenangkan pertandingan balap kereta perang.[302] Filipos II konon mendengar kabar mengenai kemenangan kudanya dalam ajang Olimpiade (kemungkinan pertandingan balap kuda atau balap kereta perang) pada hari yang sama ketika putranya Aleksander Agung lahir, pada 19 atau 20 Juli 356 SM.[303] Orang-orang Makedonia yang bukan dari golongan raja juga turut bertanding dan memenangkan berbagai pertandingan dalam ajang Olimpiade pada abad ke-4 SM.[304] Sementara itu, Aleksander Agung tidak hanya mengadakan kontes sastra di wilayah kekaisarannya, tetapi juga menggelar pertandingan atletik yang digelar bersamaan dengan pertandingan musik.[292]
Hidangan
Makedonia Kuno hanya menghasilkan sedikit makanan atau minuman yang sangat dinikmati di tempat lain di Yunani; beberapa contohnya adalah belut dari Teluk Strimonikos dan wine yang dibuat di Kalkidiki.[306] Penggunaan roti pipih sebagai piring untuk daging pertama kali tercatat di Makedonia pada abad ke-3 SM, dan praktik ini diyakini telah memengaruhi penggunaan roti trencher di Eropa pada Abad Pertengahan.[306] Orang-orang Makedonia menyantap sapi dan kambing, meskipun keberadaan keju gunung Makedonia tidak tercatat dalam sejarah hingga Abad Pertengahan.[306] Dramawan komedi Menandros menyatakan bahwa kebiasaan makan Makedonia telah menulari golongan atas di Atena, dan salah satu contohnya adalah dimasukkannya daging ke dalam hidangan penutup.[307] Orang-orang Makedonia juga tampaknya telah memperkenalkan mattye ke Atena, yaitu sebuah hidangan yang biasanya terbuat dari ayam atau daging lain yang diberi rempah-rempah, garam, dan saus, dan disajikan saat meminum wine.[308] Hidangan tersebut diejek dan dikaitkan dengan kebejatan dan tindakan mabuk-mabukan dalam sebuah drama karya penyair pelawak Atena Aleksis yang membahas tentang kemerosotan moral Atena pada masa kekuasaan Demetrios I dari Makedonia.[309]
Simposium di Makedonia dan wilayah-wilayah Yunani adalah perjamuan besar bagi kaum bangsawan dan ningrat, dan juga merupakan ajang untuk berpesta pora, minum-minum, mendapatkan hiburan, dan kadang-kadang juga untuk membahas filsafat.[310] Anggota ningrat Hetairoi diharapkan untuk hadir dalam perjamuan semacam itu dengan raja.[280] Mereka juga diharapkan untuk menemaninya saat sedang berburu untuk mencari daging serta untuk olahraga.[280]
Identitas etnis
Patung-patung terakota yang menggambarkan orang Makedonia kuno mengenakan kausia, sebuah penutup kepala yang membuat bangsa Persia menyebut orang Makedonia dengan sebutan "Yaunã Takabara" ("orang Yunani dengan topi yang tampak seperti perisai").[311] Gambar di sebelah kiri adalah arca terakota Atena dari sekitar tahun 300 SM, sementara di sebelah kanan adalah arca terakota Makedonia dari abad ke-3 SM |
Identitas etnis orang Makedonia kuno telah menjadi subjek perdebatan di kalangan penulis dan cendekiawan kuno maupun modern. Ernst Badian menyatakan bahwa hampir semua acuan mengenai permusuhan dan perbedaan antara orang Yunani dan Makedonia tertuang dalam pidato-pidato tertulis Arrianos, yang hidup pada zaman Kekaisaran Romawi, yaitu masa ketika gagasan mengenai perbedaan antara orang Makedonia dan orang Yunani lainnya bukanlah gagasan yang dikenal secara luas.[312] M. B. Hatzopoulos berpendapat bahwa tidak terdapat perbedaan etnis yang sesungguhnya di antara orang Makedonia dan Yunani, hanya perbedaan politik yang dibuat-buat setelah pendirian Liga Korintos pada tahun 337 SM (yang dipimpin oleh hegemon Philip II dari Makedonia, walaupun ia bukanlah anggota liga itu sendiri).[catatan 41] Akademisi-akademisi lain yang sepakat bahwa perbedaan Makedonia-Yunani pada zaman kuno hanyalah bersifat politik alih-alih perbedaan etnis yang sesungguhnya meliputi Michael B. Sakellariou,[313] Malcolm Errington,[catatan 42] dan Craige B. Champion.[catatan 43]
Edward M. Anson berpendapat bahwa beberapa penulis Yunani Kuno mengungkapkan gagasan-gagasan yang rumit atau bahkan sering kali berubah-ubah dan juga rancu sehubungan dengan identitas etnis Makedonia, dan beberapa orang (seperti Aristoteles dalam karyanya, Politik) menganggap mereka sebagai orang barbar, sementara yang lain merasa bahwa mereka adalah orang setengah Yunani atau Yunani seutuhnya.[catatan 44] Roger D. Woodard menegaskan bahwa bahasa Makedonia dan hubungannya dengan bahasa Yunani tidak hanya sulit untuk dipastikan pada masa modern, tetapi para penulis pada zaman kuno juga memiliki gagasan-gagasan yang saling bertentangan terkait dengan orang Makedonia.[catatan 45] Apabila memang pernah ada perbedaan etnis antara orang Yunani dan Makedonia, perbedaan tersebut sudah sirna pada tahun 148 SM tak lama setelah Romawi menaklukkan Makedonia dan kemudian wilayah Yunani lainnya akibat kekalahan Liga Akhaia dalam Pertempuran Korintos (146 SM).[314]
Ilmu pengetahuan
Arsitektur
Walaupun arsitektur Makedonia menggunakan perpaduan berbagai bentuk dan gaya yang berbeda dari wilayah Yunani lainnya, arsitektur tersebut bukanlah gaya yang unik ataupun menyimpang dari arsitektur Yunani Kuno pada umumnya.[289] Dari antara ordo-ordo klasik yang ada, arsitek-arsitek Makedonia menyukai ordo Ionia, khususnya di halaman peristilos rumah-rumah pribadi.[316] Terdapat beberapa contoh arsitektur istana Makedonia yang masih ada hingga kini, walaupun kondisinya sudah lapuk dimakan usia, yaitu istana di situs ibu kota di Pela, kediaman musim panas di Vergina di dekat ibu kota lama di Aigai, dan kediaman kerajaan di Demetrias di dekat Volos modern.[316] Di Vergina, reruntuhan tiga balai perjamuan (dengan lantai yang beralaskan marmer, ditutupi oleh puing-puing genteng atap, dan dengan dimensi lantai berukuran sekitar 16,7 x 17,6 m) kemungkinan merupakan contoh terawal tiang penopang atap segitiga apabila bangunan ini berasal dari sebelum masa kekuasaan Antigonos II Gonatas atau bahkan pada permulaan periode Helenistik.[317] Arsitektur Makedonia pada masa berikutnya juga meliputi pelengkung (arch) dan lengkungan langit-langit (vault).[318] Istana di Vergina dan Demetrias memiliki tembok yang terbuat dari bata, sementara istana Demetrias memiliki empat menara yang terletak di sudut sekitaran halaman istana utama, seperti tempat tinggal berbenteng bagi raja atau setidaknya gubernur militer.[316]
Para penguasa Makedonia juga mendukung pengerjaan arsitektur di luar wilayah utama Makedonia. Contohnya, setelah kemenangannya dalam Pertempuran Kaironeia (338 SM), Filipos II memerintahkan pendirian sebuah bangunan berbentuk bundar sebagai tanda peringatan di Olimpia yang dikenal dengan nama Filipeion, dan bagian dalamnya dihiasi dengan patung-patung yang menggambarkan dirinya, orang tuanya Amintas III dari Makedonia dan Euridike I dari Makedonia, istrinya Olimpias, dan putranya Aleksander Agung.[319]
Reruntuhan sekitar dua puluh teater Yunani kuno masih dapat ditemui di kawasan Makedonia dan Trakia di wilayah Yunani; teater-teater tersebut terdiri dari enam belas teater ruangan terbuka, tiga odea, serta sebuah bangunan yang diduga adalah sebuah teater di Veria.[320]
Teknologi dan teknik militer
Pada zaman Helenistik, banyak negara-negara Yunani yang mendanai pembangunan dan penambahan jumlah mesin kepung puntiran, kapal laut, serta persenjataan dan perisai dengan rancangan yang terstandardisasi.[321] Pada masa kepemimpinan Filipos II dan Aleksander Agung, artileri kepung (seperti balista) dan mesin-mesin kepung (seperti menara kepung raksasa) mengalami kemajuan.[322] E. W. Marsden dan M. Y. Treister berpendapat bahwa penguasa Makedonia Antigonos I Monoftalmos dan penerusnya Demetrios I dari Makedonia memiliki artileri kepung terkuat di dunia Helenistik pada akhir abad ke-4 SM.[323] Pengepungan Salamis, Siprus, pada tahun 306 SM membutuhkan penggunaan mesin-mesin kepung besar dan pengerahan para pengrajin dari wilayah Asia Barat.[324] Sementara itu, menara kepung yang diperintahkan pengadaannya oleh Demetrios I untuk melancarkan Pengepungan Rodos (305–304 SM) (dan kemudian diawaki oleh lebih dari tiga ribu prajurit) dibangun dengan tinggi sembilan tingkat.[325] Menara ini memiliki bagian dasar seluas 4.300 kaki persegi (399 meter persegi), delapan roda yang dapat diubah arahnya dengan titik putar, tiga sisi yang ditutupi oleh lempeng besi untuk melindunginya dari api, dan jendela-jendela yang dapat dibuka (ditamengi dengan tirai kulit yang diisi dengan wol untuk meringankan dampak tembakan balista) dengan ukuran-ukuran berbeda untuk memungkinkan penembakan proyektil dari panah biasa hingga tembakan yang lebih besar.[325]
Selama pengepungan Ekinos yang dilancarkan oleh Filipos V dari Makedonia pada tahun 211 SM, pasukan pengepung menggali terowongan-terowongan bawah tanah untuk melindungi para prajurit dan penggali saat mereka sedang bolak balik dari perkemahan ke tempat pengepungan. Selama pengepungan ini juga terdapat dua menara kepung yang terhubung dengan anyaman yang terlihat seperti tembok, serta dilengkapi dengan balista pelempar batu.[326] Walaupun Makedonia memiliki reputasi sebagai pelopor teknologi pengepungan, Aleksandria di Mesir Ptolemaik menjadi pusat pengembangan teknologi katapel tempur pada abad ke-3 SM, seperti yang dibuktikan oleh tulisan-tulisan Filon dari Aleksandria.[324]
Inovasi lain
Meskipun inovasi teknologi di Makedonia tidak semaju wilayah Yunani lainnya, terdapat beberapa penemuan yang berasal dari kerajaan ini yang bukan berupa mesin dan artileri kepung. Pemeras zaitun yang dijalankan dengan sistem rotasi di sekeliling sumbu tertentu untuk membuat minyak zaitun diciptakan di Makedonia Kuno atau wilayah Yunani lainnya, atau mungkin wilayah yang sampai sejauh Syam atau Anatolia.[327] Kaca cetak-tempa (mold-pressed glass) pertama kali muncul di Makedonia pada abad ke-4 SM (meskipun metode ini mungkin juga sudah ada pada masa yang sama di Akemeniyah); kepingan kaca kusam pertama yang diketahui keberadaannya di dunia Yunani juga ditemukan di Makedonia dan Rodos dan berasal dari paruh kedua abad ke-4 SM.[328] Sementara itu, literatur ilmiah dan teknik Yunani dimulai di Atena Klasik pada abad ke-5 SM, sedangkan pusat-pusat inovasi dan naskah teknis pada zaman Helenistik adalah Aleksandria, Rodos, dan Pergamon.[329]
Mata uang, keuangan, dan sumber daya
Percetakan koin perak dimulai pada masa pemerintahan Aleksander I sebagai alat bayar untuk pengeluaran kerajaan.[213] Arkelaos I meningkatkan kadar perak koin-koin itu serta mencetak koin-koin perunggu untuk memajukan perdagangan di dalam dan luar negeri.[44] Percetakan koin meningkat secara signifikan pada masa pemerintahan Filipos II dan Aleksander Agung, khususnya setelah peningkatan pendapatan negara setelah perebutan Perbukitan Pangaion.[330] Pada zaman Helenistik, wangsa-wangsa kerajaan Makedonia, Mesir Ptolemaik, dan Kerajaan Pergamon memegang kendali monopolistik penuh atas kegiatan penambangan, yang hasilnya sebagian besar digunakan untuk memastikan pendanaan tentara.[331] Pada akhir penaklukan Aleksander Agung, terdapat hampir tiga puluh percetakan tersebar dari Makedonia sampai Babilonia yang memproduksi koin-koin standar.[332] Hak mencetak koin dipegang oleh pemerintah pusat dan beberapa pemerintah lokal, seperti pemerintahan munisipal otonom Thessaloniki, Pela, dan Amfipolis dalam persemakmuran Makedonia.[333] Makedonia juga merupakan negara pertama yang mengeluarkan koin berbeda untuk peredaran dalam dan luar negeri.[334]
Pendapatan negara juga berkembang karena pengumpulan hasil panen dari lahan subur, kayu dari hutan, serta pajak impor-ekspor di pelabuhan.[335] Beberapa pertambangan, perkebunan, lahan pertanian dan hutan di dalam negara pun dieksploitasi oleh raja Makedonia, meskipun ada pula yang disewakan sebagai aset atau dihadiahkan kepada para anggota ningrat seperti hetairoi dan filoi.[336] Setidaknya sejak masa pemerintahan Amintas III sudah dipasangkan tarif pada barang-barang yang melewati pelabuhan-pelabuhan Makedonia. Lebih lanjut, Kalistratus dari Afidnae (wafat sekitar tahun 350 SM) juga membantu Perdikas III menggandakan laba tahunan kerajaan dari bea cukai dari 20 menjadi 40 talenta.[337]
Setelah kekalahan Perseus di Pidna pada tahun 168 SM, Senat Romawi kembali mengizinkan pembukaan pertambangan besi dan tembaga, tetapi melarang penambangan emas dan perak oleh empat negara pengekor otonom yang baru berdiri yang menggantikan kerajaan Makedonia.[338] Senat mungkin khawatir bahwa kekayaan material hasil operasi penambangan emas dan perak akan digunakan rakyat Makedonia untuk mendanai pemberontakan bersenjata.[339] Selain itu, Senat mungkin juga ingin mengurangi arus inflasi yang disebabkan oleh meningkatnya persediaan uang dari penambangan perak Makedonia.[340] Namun, Makedonia terus mencetak koin perak antara tahun 167 dan 148 SM (tepat sebelum pendirian provinsi Makedonia Romawi), dan kemudian Romawi pun membatalkan larangan penambangan perak Makedonia pada tahun 158 SM, mungkin karena menyadari bahwa praktik ilegal ini masih terus berjalan meskipun sudah ada larangan dari Senat.[341]
Tinggalan sejarah
Masa pemerintahan Filipos II dan Aleksander Agung merupakan masa berakhirnya Yunani Klasik dan bermulanya peradaban Helenistik setelah menyebarnya budaya Yunani ke kawasan Timur Dekat akibat penaklukan yang dilancarkan oleh Aleksander.[342] Orang-orang Makedonia kemudian berpindah ke Mesir dan sebagian wilayah Asia, tetapi proses tersebut mengakibatkan kekurangan sumber daya manusia di wilayah utama Makedonia, yang kemudian melemahkan kerajaan tersebut selama percekcokan dengan negara-negara Helenistik lainnya dan juga menjadi salah satu faktor penyebab kemunduran Makedonia yang berujung pada penaklukan oleh Romawi.[343] Meskipun begitu, Errington berpendapat bahwa difusi budaya dan bahasa Yunani yang dikokohkan oleh penaklukan yang dilancarkan oleh Aleksander di Asia Barat dan Afrika Utara telah menjadi "prakondisi" bagi perluasan wilayah Romawi ke kawasan-kawasan tersebut pada masa berikutnya dan landasan keseluruhan bagi Kekaisaran Bizantium.[344]
Para penguasa beretnis Makedonia di Ptolemaik dan Seleukia menerima orang-orang dari seluruh penjuru dunia Yunani sebagai sahabat hetairoi dan tidak mencoba mengembangkan identitas nasional seperti Antigonidai.[345] Kajian modern kini berfokus pada bagaimana kerajaan-kerajaan Helenistik tersebut lebih dipengaruhi oleh asal muasal Makedonia mereka ketimbang tradisi-tradisi Yunani timur atau selatan.[346] Sementara itu, meskipun masyarakat Sparta masih tetap menjadi masyarakat yang tertutup dan Atena juga masih menerapkan pembatasan yang ketat terhadap pemberian kewarganegaraan, kota-kota Helenistik yang kosmopolitan di Asia dan Afrika timur laut sangat mirip dengan kota-kota Makedonia dan dihuni oleh percampuran penduduk asli, pendatang Yunani dan Makedonia, serta orang-orang Timur yang mengalami Helenisasi dan menuturkan bahasa Yunani (dan banyak dari antara kelompok ini yang merupakan hasil perkawinan silang antara orang Yunani dan penduduk asli).[347]
Pendewaan para penguasa monarki Makedonia diyakini dimulai setelah kematian Filipos II, tetapi raja pertama yang secara gamblang menyatakan dirinya sebagai seorang dewa adalah Aleksander Agung.[catatan 46] Setelah ia mengunjungi orakel Didima pada tahun 334 SM yang menyatakan keilahiannya, Aleksander juga mendatangi Orakel Zeus Ammon (dalam keyakinan Yunani setara dengan dewa Mesir Amun-Ra) di Wahat Siwah, Gurun Libya, pada 332 SM, untuk memastikan status ilahi Aleksander.[catatan 47] Meskipun negeri-negeri Ptolemaik dan Seleukia tetap mempertahankan kultus nenek moyang dan mendewakan para penguasa mereka, raja-raja tidak disembah di Kerajaan Makedonia.[348] Walaupun Zeus Ammon telah dikenal oleh orang-orang Yunani sebelum masa pemerintahan Aleksander, terutama di koloni Yunani di Kirene, Libya, Aleksander adalah penguasa monarki Makedonia pertama yang mendukung para imam dan dewa Mesir, Persia, dan Babilonia, sehingga mendorong proses perpaduan kepercayaan agama Timur Dekat dan Yunani.[349] Sepeninggalan Aleksander, pemujaan Isis secara bertahap menyebar ke seluruh peradaban Helenistik dan Romawi, sementara kepercayaan terhadap dewa Mesir Serapis dihelenisasikan oleh para penguasa Ptolemaik dari Mesir sebelum akhirnya kultus Serapis menyebar ke Makedonia dan kawasan Aegea.[350] Sejarawan Jerman Johann Gustav Droysen berpendapat bahwa penaklukan yang dilancarkan oleh Aleksander Agung dan pembentukan dunia Helenistik memungkinkan pertumbuhan dan penyebaran agama Kristen pada zaman Romawi.[351]
Catatan penjelas
- ^ Engels 2010, hlm. 89; Borza 1995, hlm. 114; Eugene N. Borza menyatakan bahwa "orang dataran tinggi" atau "Makedones" dari kawasan pegunungan Makedonia barat memiliki darah Yunani barat laut; mereka mirip dengan orang-orang yang mungkin bermigrasi ke arah selatan sebelumnya dan menjadi "orang Doria".
- ^ Olbrycht 2010, hlm. 342–343; Sprawski 2010, hlm. 131, 134; Errington 1990, hlm. 8–9.
Errington meragukan klaim bahwa Amintas I dari Makedonia pada masa itu pada masa itu bersedia tunduk sebagai vasal. Ia juga menyebutkan bagaimana Raja Makedonia bertindak semaunya, seperti mengundang tiran Atena Hipias yang telah diasingkan untuk mengungsi ke Antemous pada 506 SM. - ^ Roisman 2010, hlm. 158–159; lihat pula Errington 1990, hlm. 30 untuk informasi selengkapnya; sejarawan Yunani Diodorus Siculus menyajikan catatan sejarah mengenai terjadinya serangan Iliria pada tahun 393 SM dan 383 SM, yang mungkin merupakan satu serangan besar yang dilancarkan oleh Bardilis dari Dardani.
- ^ Müller 2010, hlm. 169–170, 179.
Müller meragukan klaim-klaim Plutarkos dan Atenaios bahwa Filipos II dari Makedonia menikahi Kleopatra Euridike dari Makedonia (yang lebih muda daripada Filipos II) murni atas dasar cinta atau akibat krisis pertengahan hidup di benak Filipos II. Kleopatra adalah putri dari jenderal Attalos, yang diberikan jabatan komando di Asia Kecil (kini Turki) bersama dengan mertuanya, Parmenion. Müller juga menduga bahwa pernikahan tersebut dilakukan atas dasar politik untuk menjamin kesetiaan salah satu keluarga bangsawan Makedonia yang berpengaruh. - ^ Müller 2010, hlm. 171–172; Buckler 1989, hlm. 63, 176–181; Cawkwell 1978, hlm. 185–187.
Cawkwell menyebutkan tahun yang berbeda untuk pengepungan ini, yaitu 354–353 SM. - ^ Müller 2010, hlm. 172–173; Cawkwell 1978, hlm. 60, 185; Hornblower 2002, hlm. 272; Buckler 1989, hlm. 63–64, 176–181.
Buckler menyebutkan tanggal yang berbeda untuk kampanye militer ini, yaitu 354 SM, tetapi ia menyatakan bahwa kampanye Tesalia kedua diakhiri oleh Pertempuran Lapangan Krokus pada 353 SM. - ^ Gilley & Worthington 2010, hlm. 189–190; Müller 2010, hlm. 183.
Tanpa menjadikan Aleksander III dari Makedonia sebagai tersangka rencana pembunuhan Filipos II dari Makedonia, N. G. L. Hammond dan F. W. Walbank membahas kemungkinan tersangka dari Makedonia maupun dari luar negeri, seperti Demostenes dan Darius III: Hammond & Walbank 2001, hlm. 8–12. - ^ Gilley & Worthington 2010, hlm. 199–200; Errington 1990, hlm. 44, 93.
Gilley dan Worthington membahas kerancuan di balik gelar Antipatros yang sesungguhnya selain gelar sebagai wakil hegemon Liga Korintos. Beberapa sumber menyebutnya sebagai wali raja, yang lainnya gubernur, tetapi ada pula yang menyebutnya hanya sebagai seorang jenderal.
N. G. L. Hammond dan F. W. Walbank menyatakan bahwa Aleksander Agung meninggalkan "Makedonia di bawah komando Antipatros, kalau-kalau terjadi pemberontakan di Yunani." Hammond & Walbank 2001, hlm. 32. - ^ Adams 2010, hlm. 219; Bringmann 2007, hlm. 61; Errington 1990, hlm. 155.
Di sisi lain, Errington menyatakan bahwa penyatuan kembali Makedonia terjadi pada tahun 284 SM, bukan 286 SM. - ^ Eckstein 2010, hlm. 229–230; lihat pula Errington 1990, hlm. 186–189 untuk penjelasan selengkapnya.
Errington merasa ragu bahwa Filipos V pada saat itu memiliki niat untuk menyerang Italia selatan lewat Iliria setelah wilayah Iliria diamankan, karena Errington merasa rencananya "lebih sederhana", Errington 1990, hlm. 189. - ^ Bringmann 2007, hlm. 86–87.
Errington 1990, hlm. 202–203: "Roman desire for revenge and private hopes of famous victories were probably the decisive reasons for the outbreak of the war." - ^ Bringmann 2007, hlm. 93–97; Eckstein 2010, hlm. 239; Errington 1990, hlm. 207–208.
Bringmann menyatakan bahwa peristiwa penyerahan Ainos dan Maronea terjadi pada tahun 183 SM, sementara Eckstein mengatakan kejadian tersebut berlangsung pada tahun 184 SM. - ^ Bringmann 2007, hlm. 98–99; lihat pula Eckstein 2010, hlm. 242, yang berkata bahwa "Roma ... sebagai adidaya satu-satunya yang tersisa ... tak akan menerima Makedonia sebagai pesaing sejawat atau pihak yang setara."
Klaus Bringmann menegaskan bahwa perundingan dengan Makedonia sepenuhnya dihiraukan karena hasil "perhitungan politik" Romawi menunjukkan bahwa kerajaan Makedonia harus dihancurkan untuk meniadakan "sumber segala kesulitan yang dihadapi Romawi di dunia Yunani". - ^ Bukti tertulis tentang lembaga-lembaga pemerintahan Makedonia yang disusun sebelum masa pemerintahan Filipos II dari Makedon bersifat langka dan bukan dari Makedonia. Sumber-sumber utama historiografi Makedonia awal adalah karya-karya Herodotos, Tukidides, Diodoros Sikeliotes, dan Yustinus. Catatan sejarah sezaman yang ditulis oleh orang-orang seperti Demostenes sering kali bermusuhan dengan Makedonia dan tak terandalkan; bahkan Aristoteles, yang tinggal di Makedonia, hanya menyediakan catatan-catatan sekilas mengenai lembaga-lembaga pemerintahannya. Polibios adalah seorang sejarawan sezaman yang menulis tentang Makedonia; sejarawan-sejarawan pada masa berikutnya meliputi Livius, Kuintus Kursius Rufus, Plutarkos, dan Arianos. Karya sejarawan-sejarawan ini menegaskan bahwa Makedonia merupakan monarki turun temurun dengan institusi-institusi dasar, meskipun masih belum jelas apakah terdapat sebuah konstitusi untuk pemerintahan Makedonia. Lihat: King 2010, hlm. 373–374.
Namun, N. G. L. Hammond dan F. W. Walbank menulis dengan kepastian dan keyakinan yang teguh saat menggambarkan pemerintah konstitusional Makedonia membatasi wewenang raja dan memiliki majelis tentara. Lihat: Hammond & Walbank 2001, hlm. 12–13.
Sumber-sumber primer tektual utama tentang organisasi militer Makedonia yang muncul pada masa Aleksander Agung berasal dari Arianos, Kursius, Diodoros, dan Plutarkos; sejarawan-sejarawan modern kebanyakan mendasarkan tulisannya pada Polibios dan Livius saat membahas rincian aspek-aspek militer pada masa Antigonidai. Terkait dengan hal ini, Sekunda 2010, hlm. 446–447 menyatakan: "... untuk itu, kita dapat menambahkan bukti yang disediakan oleh dua monumen arkeologi luar biasa, 'Sarkofagus Aleksander' khususnya dan [juga] 'Mozaik Aleksander'... Sehubungan dengan pasukan Antigonidai ... rincian-rincian tambahan yang berharga kadang-kadang disediakan oleh Diodoros dan Plutarkos, dan oleh sejumlah inskripsi yang berisi dua rangkaian regulasi ketentaraan yang dikeluarkan oleh Filipos V." - ^ King 2010, hlm. 374; untuk melihat argumen yang menyatakan bahwa monarki Makedonia bersifat absolutis, lihat Errington 1990, hlm. 220–222.
Namun, N. G. L. Hammond dan F. W. Walbank menulis dengan kepastian dan keyakinan yang teguh saat menggambarkan pemerintah konstitusional Makedonia membatasi wewenang raja dan memiliki majelis tentara. Hammond & Walbank 2001, hlm. 12–13. - ^ King 2010, hlm. 375.
Pada 1931, Friedrich Granier adalah orang pertama yang mengusulkan bahwa pada masa pemerintahan Filipos II, Makedonia sudah memiliki pemerintahan konstitusional dengan hukum-hukum yang memberikan hak dan keistimewaan kepada kelompok-kelompok tertentu, khususnya kepada para prajurit, meskipun kebanyakan bukti mengenai hak tentara untuk melantik raja baru dan menghakimi perkara-perkara pengkhianatan tampaknya berasal dari masa pemerintahan Aleksander III dari Makedonia. Lihat Granier 1931, hlm. 4–28, 48–57 dan King 2010, hlm. 374–375.
Pietro de Francisci adalah orang pertama yang membantah gagasan-gagasan Granier dan mengajukan pernyataan bahwa pemerintahan Makedonia adalah sebuah otokrasi yang diperintah sewenang-wenang oleh penguasa, meskipun permasalahan yang terkait dengan jabatan raja dan pemerintahan ini masih belum terselesaikan di dunia akademia. Lihat: de Francisci 1948, hlm. 345–435 serta King 2010, hlm. 375 dan Errington 1990, hlm. 220 untuk penjelasan selengkapnya. - ^ King 2010, hlm. 379; Errington 1990, hlm. 221; bukti awal yang memperkuat hal ini tidak hanya meliputi peran Aleksander I sebagai panglima dalam Perang Yunani-Persia, tetapi juga bagaimanan negara-kota Potidaia menerima Perdikas II dari Makedonia sebagai panglima tertinggi saat mereka memberontak melawan Liga Delia pimpinan Atena pada 432 SM.
- ^ Sawada 2010, hlm. 403–405.
Menurut Carol J. King, belum ada "acuan yang pasti" terhadap kelompok institusional ini sampai masa kampanye militer Aleksander Agung di Asia.King 2010, hlm. 380–381.
Namun, N. G. L. Hammond dan F. W. Walbank menyatakan bahwa keberadaan hamba-hamba muda kerajaan dapat ditilik kembali ke masa kekuasaan Arkelaos I dari Makedonia. Hammond & Walbank 2001, hlm. 13. - ^ King 2010, hlm. 382.
Jumlah para sahabat menjadi semakin besar pada masa pemerintahan Filipos II setelah ia memperluas cakupan lembaga ini hingga meliputi kaum ningrat Makedonia Hulu serta Yunani. Lihat: Sawada 2010, hlm. 404. - ^ King 2010, hlm. 384: contoh pertama yang tercatat dalam sejarah berasal dari tahun 359 SM, saat Filipos II menghimpunkan majelis untuk menyampaikan pidato dan meningkatkan moral mereka setelah wafatnya Perdikas III dari Makedonia dalam pertempuran melawan orang-orang Iliria.
- ^ Contohnya, saat Perdikas memerintahkan pembunuhan putri Filipos II, Kinane, agar putri Perdikas tidak menikahi Filipos III dari Makedonia, militer memberontak untuk memastikan agar pernikahan tersebut tetap dilangsungkan. Lihat Adams 2010, hlm. 210 dan Errington 1990, hlm. 119–120 untuk penjelasan selengkapnya.
- ^ King 2010, hlm. 390.
Meskipun mereka adalah anggota yang paling berpengaruh dalam pemerintahan lokal dan regional, Carol J. King menegaskan bahwa mereka secara keseluruhan tidak cukup kuat untuk menentang wewenang raja Makedonia atau haknya untuk berkuasa. - ^ Amemiya 2007, hlm. 11–12: di bawah oligarki Antipatros, nilai kepemilikan paling rendah yang harus dimiliki seseorang agar dapat diterima sebagai anggota oligarki adalah 2.000 drakhma. Demokrasi Atena sempat didirikan kembali setelah kematian Antipatros pada 319 SM, tetapi putranya Kasandros menaklukkan kembali kota tersebut, dan lalu kekuasaan atas kota tersebut diberikan kepada Demetrios dari Faleron. Demetrios menurunkan batas nilai kepemilikan untuk para anggota oligarki menjadi 1.000 drakhma, tetapi pada 307 SM, ia diasingkan dari kota tersebut dan demokrasi langsung ditegakkan kembali. Demetrios I dari Makedonia merebut kembali Atena pada 295 SM, akan tetapi demokrasi kembali dipulihkan pada 287 SM dengan bantuan Ptolemaios I dari Mesir. Antigonos II Gonatas, putra Demetrios I, merebut kembali Atena pada 260 SM, dan Atena lalu dikuasai oleh raja-raja Makedonia sampai Republik Romawi menaklukkan Makedonia dan Yunani daratan pada 146 SM.
- ^ Terdapat banyak bukti tekstual yang terkait dengan hal ini untuk Liga Akaya, Akarnania, dan Akaya, tetapi buktinya sangat sedikit untuk Makedonia; lihat Hatzopoulos 1996, hlm. 366–367.
- ^ Menurut Sekunda, infanteri Filipos II pada akhirnya dilengkapi dengan senjata yang lebih berat seperti kuiras, karena orasi Filipik Ketiga yang disampaikan oleh Demostenes pada 341 SM menyebut mereka sebagai hoplites dan bukan peltastes yang lebih ringan: Sekunda 2010, hlm. 449–450; lihat pula Errington 1990, hlm. 238 untuk penjelasan selengkapnya.
Namun, Errington berpendapat bahwa perisai dada tidak dikenakan oleh pasukan tembiang falangs baik pada masa kekuasaan Filipos II maupun Filipos V (masa dengan cukup bukti yang menunjukkan hal tersebut). Sebagai gantinya, ia mengklaim bahwa perisai-perisai dada hanya dikenakan oleh para perwira militer, sementara pasukan tembiang mengenakan perisai lambung kotibos bersamaan dengan ketopong dan pelindung kaki mereka, sembari membawa sebuah belati sebagai senjata kedua bersama dengan perisai mereka. Lihat Errington 1990, hlm. 241. - ^ Sekunda 2010, hlm. 455–456.
Errington 1990, hlm. 245: sehubungan dengan argiraspides dan khalkaspides, "gelar-gelar tersebut mungkin bukanlah gelar fungsional, atau bahkan mungkin juga bukan gelar resmi." - ^ Sekunda 2010, hlm. 455–457.
Namun, saat membahas perbedaan pandangan di antara para sejarawan kuno terkait dengan besar tentara Aleksander Agung, N. G. L. Hammond dan F. W. Walbank menganggap angka yang dikeluarkan oleh Diodoros Sikeliotes (32.000) sebagai jumlah yang paling terandalkan, tetapi mereka tidak sependapat dengan angka yang ia keluarkan untuk jumlah pasukan kavaleri (4.500), karena menurut mereka jumlahnya lebih mendepati 5.100 pasukan berkuda. Hammond & Walbank 2001, hlm. 22–23. - ^ Sekunda 2010, hlm. 459; Errington 1990, hlm. 245: "Other developments in Macedonian army organization are evident after Alexander. One is the evolution of the hypaspistai from an elite unit to a form of military police or bodyguard under Philip V; the only thing the two functions had in common was the particular closeness to the king."
- ^ Sekunda 2010, hlm. 460–461; untuk perubahan gelar-gelar militer Makedonia, seperti komando atas militer oleh para perwira tetrarkhai yang dibantu oleh grammateis (sekretaris), lihat Errington 1990, hlm. 242–243.
- ^ Sekunda 2010, hlm. 461–462;
Errington 1990, hlm. 245: "The other development, which happened at the latest under Doson, was the formation and training of a special unit of peltastai separate from the phalanx. This unit operated as a form of royal guard similar in function to the earlier hypaspistai." - ^ Sekunda 2010, hlm. 463; angka terbesar yang disebutkan untuk peltastes elit Makedonia oleh para sejarawan kuno tercatat sebesar 5.000 pasukan pada masa Perang Sosial (220–217 SM).
- ^ Hatzopoulos 2011a, hlm. 44; Woodard 2010, hlm. 9; lihat pula Austin 2006, hlm. 4 untuk penjelasan lengkapnya.
Edward M. Anson berpendapat bahwa bahasa yang dituturkan oleh orang Makedonia adalah sebuah dialek bahasa Yunani dan bahwa dalam sekitar 6.300 inskripsi dari zaman Makedonia yang telah ditemukan oleh para arkeolog, sekitar 99% ditulis dalam bahasa Yunani dan memakai abjad Yunani. Anson 2010, hlm. 17, n. 57, n. 58. - ^ Hatzopoulos 2011a, hlm. 44; Engels 2010, hlm. 94–95; Woodard 2010, hlm. 9–10.
Hatzopoulos 2011a, hlm. 43–45 menyatakan bahwa bahasa asli orang Makedonia kuno (seperti yang tertuang dalam dokumen-dokumen langka yang ditulis dalam sebuah bahasa yang bukan bahasa Yunani Koine) juga memperlihatkan sedikit pengaruh fonetik dari bahasa-bahasa yang dituturkan oleh penduduk asli kawasan tersebut yang berasimilasi atau diusir oleh pasukan Makedonia; Hatzopoulos juga menegaskan bahwa tidak banyak yang diketahui mengenai bahasa-bahasa tersebut kecuali bahasa Frigia dituturkan oleh orang-orang Briges yang bermigrasi ke Anatolia.
Errington 1990, hlm. 3–4 sepakat bahwa bahasa Makedonia adalah sebuah dialek Yunani yang menyerap kata-kata dari bahasa Trakia dan Iliria, yang "tidak mengejutkan bagi para pakar filologi modern", tetapi menyediakan "bukti" kepada musuh-musuh politik Makedonia untuk melayangkan tuduhan bahwa orang Makedonia bukanlah orang Yunani. - ^ Woodard 2004, hlm. 12–14; Hamp, Eric; Adams, Douglas (2013). "The Expansion of the Indo-European Languages Diarsipkan 2014-02-22 di Wayback Machine.", Sino-Platonic Papers, vol 239. Diakses 16 Januari 2017.
Joseph 2001: "Ancient Greek is generally taken to be the only representative (though note the existence of different dialects) of the Greek or Hellenic branch of Indo-European. There is some dispute as to whether Ancient Macedonian (the native language of Philip and Alexander), if it has any special affinity to Greek at all, is a dialect within Greek (see below) or a sibling language to all of the known Ancient Greek dialects. If the latter view is correct, then Macedonian and Greek would be the two subbranches of a group within Indo-European which could more properly be called Hellenic."
Georgiev 1966, hlm. 285–297: bahasa Makedonia kuno sangat berhubungan erat dengan bahasa Yunani; selain itu, bahasa Makedonia dan Yunani merupakan keturunan idiom Yunani-Makedonia yang masih dituturkan hingga paruh kedua milenium ke-3 SM. - ^ Sansone 2017, hlm. 224; Hammond & Walbank 2001, hlm. 6.
Rosella Lorenzi (10 Oktober 2014). "Remains of Alexander the Great's Father Confirmed Found: King Philip II's bones are buried in a tomb along with a mysterious woman-warrior Diarsipkan 18 Januari 2017 di Wayback Machine.." Seeker. Diakses 17 Januari 2017. - ^ Hatzopoulos 2011a, hlm. 47–48; untuk contoh spesifik dari reklamasi lahan di dekat Amfipolis pada masa pemerintahan Aleksander Agung, lihat Hammond & Walbank 2001, hlm. 31.
- ^ Hubungan metafora antara perang, perburuan, dan seksualitas maskulin agresif tampak dijelaskan oleh kesusastraan Bizantium pada masa berikutnya, terutama dalam lagu-lagu Akritik tentang Digenes Akritas. Lihat Cohen 2010, hlm. 13–34 untuk penjelasan selengkapnya.
- ^ Aktor Atenodoros tetap tampil meskipun berisiko didenda karena absen dari festival Atena Dionisia yang sudah dijadwalkan untuknya (denda yang akan dibayarkan oleh Aleksander). Lihat Worthington 2014, hlm. 185–186 untuk penjelasan selengkapnya.
- ^ Hatzopoulos 2011b, hlm. 59; Sansone 2017, hlm. 223; Roisman 2010, hlm. 157.
Meskipun Arkelaos I dari Makedonia dikritik oleh filsuf Plato, konon dibenci oleh Socrates, dan merupakan raja Makedonia pertama yang diketahui diberi cap orang barbar, sejarawan Tukidides menyanjung raja Makedonia tersebut, khususnya karena keterlibatannya dalam olahraga Panhelenik dan kebijakannya yang mendukung kesusastraan. Lihat Hatzopoulos 2011b, hlm. 59. - ^ Errington 1990, hlm. 224–225.
Untuk Marsias dari Pela, lihat pula Hammond & Walbank 2001, hlm. 27 untuk penjelasan selengkapnya. - ^ Hatzopoulos 2011b, hlm. 69–71.
Hatzopoulos menegaskan bahwa orang Makedonia dan puak-puak lainnya (seperti Epiros dan Siprus) menuturkan dialek Yunani, mengikuti kultus Yunani, ikut serta dalam ajang olahraga Panhelenik, dan memiliki lembaga Yunani tradisional, tetapi kadang-kadang mereka memiliki wilayah yang berada di luar definisi "Hellas" pada masa itu dan bahkan dianggap sebagai orang barbar non-Yunani oleh beberapa orang. Lihat: Hatzopoulos 2011b, hlm. 52, 71–72; Johannes Engels merumuskan kesimpulan yang senada terkait dengan perbandingan antara orang Makedonia dan Epiros, dengan berkata bahwa "keyunanian" orang Epiros tak pernah diragukan, meskipun mereka tak dianggap "seberadab" orang Yunani selatan. Engels menyatakan bahwa ini mungkin karena orang Epiros tak berusaha untuk mendominasi Yunani seperti yang pernah dicoba oleh Filipos II dari Makedon. Lihat: Engels 2010, hlm. 83–84. - ^ Errington 1990, hlm. 3–4.
Errington 1994, hlm. 4: "Ancient allegations that the Macedonians were non-Greek all had their origin in Athens at the time of the struggle with Philip II. Then as now, political struggle created the prejudice. The orator Aeschines once even found it necessary, to counteract the prejudice vigorously fomented by his opponents, to defend Philip on this issue and describe him at a meeting of the Athenian Popular Assembly as being 'entirely Greek'. Demosthenes' allegations were lent an appearance of credibility by the fact, apparent to every observer, that the life-style of the Macedonians, being determined by specific geographical and historical conditions, was different to that of a Greek city-state. This alien way of life was, however, common to western Greeks of Epirus, Akarnania and Aitolia, as well as to the Macedonians, and their fundamental Greek nationality was never doubted. Only as a consequence of the political disagreement with Macedonia was the issue raised at all." - ^ Champion 2004, hlm. 41: "Demosthenes could drop the barbarian category altogether in advocating an Athenian alliance with the Great King against a power that ranked below any so-called barbarian people, the Macedonians. In the case of Aeschines, Philip II could be 'a barbarian due for the vengeance of God', but after the orator's embassy to Pella in 346, he became a 'thorough Greek', devoted to Athens. It all depended upon one's immediate political orientation with Macedonia, which many Greeks instinctively scorned, was always infused with deep-seated ambivalence."
- ^ Anson 2010, hlm. 14–17; hal ini dapat dilihat dalam silsilah mitologi yang berbeda yang disematkan kepada orang Makedonia; Katalog Wanita karya Hesiod mengklaim bahwa orang Makedonia merupakan keturunan Makedon, putra Zeus dan Thyia, sehingga merupakan keponakan dari Helen, leluhur orang Yunani. Lihat: Anson 2010, hlm. 16; Rhodes 2010, hlm. 24.
Pada akhir abad ke-5 SM, Hellanikos dari Lesbos menyatakan bahwa Makedon adalah putra dari Aeolus, yang merupakan putra dari Helen dan leluhur suku Aeolia, salah satu suku besar di Yunani. Selain tergolong ke dalam kelompok-kelompok suku seperti suku Aeolia, suku Doria, suku Achaea, dan suku Ionia, Anson juga menegaskan bahwa beberapa orang Yunani menetapkan identitas etnis mereka berdasarkan polis (negara-kota) mereka. Lihat: Anson 2010, hlm. 15. - ^ Misalnya, Demostenes mencap Filipos II dari Makedon sebagai orang barbar, sementara Polibius menyebut orang Yunani dan Makedonia sebagai homofilos (bagian dari ras atau sanak yang sama). Lihat: Woodard 2010, hlm. 9–10; Johannes Engels juga membahas kerancuan dalam sumber-sumber kuno sehubungan dengan hal ini: Engels 2010, hlm. 83–89.
- ^ Worthington 2012, hlm. 319.
Sebagai firaun Mesir, ia diberi glar Putra Ra dan dianggap sebagai pewujudan hidup Horus oleh bawahan-bawahannya di Mesir (sebuah keyakinan yang terus dipelihara oleh para penerusnya di Mesir Ptolemaik). Lihat: Worthington 2014, hlm. 180 dan Sansone 2017, hlm. 228 untuk penjelasan selengkapnya. - ^ Worthington 2012, hlm. 319; Worthington 2014, hlm. 180–183.
Setelah imam dan Orakel di Zeus Ammon di Wahat Siwah berhasil meyakinkan Aleksander bahwa Filipos II hanyalah ayah dalam wujud manusia dan Zeus adalah ayahnya yang sebenarnya, Aleksander mulai menyebut dirinya sebagai 'Putra Zeus', sehingga ia berselisih dengan beberapa bawahannya di Yunani yang sangat yakin bahwa manusia tidak dapat menjadi dewa. Lihat Worthington 2012, hlm. 319 dan Worthington 2014, hlm. 182–183 untuk penjelasan selengkapnya.
Rujukan
- ^ Hatzopoulos 1996, hlm. 105–106; Roisman 2010, hlm. 156
- ^ Engels 2010, hlm. 92; Roisman 2010, hlm. 156
- ^ a b c Sprawski 2010, hlm. 135–138; Olbrycht 2010, hlm. 342–345
- ^ Kuno: [ma͜akedoní.a͜a]
- ^ Hornblower 2008, hlm. 55–58
- ^ Austin 2006, hlm. 1–4
- ^ "Macedonia". Encyclopædia Britannica. Encyclopædia Britannica Online. 23 October 2015. Diakses tanggal 5 Februari 2017.
- ^ Liddell, Henry George; Scott, Robert. (1940). "μακεδνός," in Jones, Henry Stuart; McKenzie, Roderick. A Greek-English Lexicon. Oxford: Clarendon Press. Akses daring di Crane, Gregory R. (ed), The Perseus Digitial Library. Tufts University. Diakses 2 Februari 2017.
- ^ Liddell, Henry George; Scott, Robert. (1940). "μάκρος," in Jones, Henry Stuart; McKenzie, Roderick. A Greek-English Lexicon. Oxford: Clarendon Press. Akses daring di Crane, Gregory R. (ed), The Perseus Digitial Library. Tufts University. Diakses 2 Februari 2017.
- ^ Beekes 2010, hlm. 894
- ^ King 2010, hlm. 376; Sprawski 2010, hlm. 127; Errington 1990, hlm. 2–3.
- ^ Badian 1982, hlm. 34; Sprawski 2010, hlm. 142.
- ^ a b King 2010, hlm. 376.
- ^ King 2010, hlm. 376; Errington 1990, hlm. 3, 251.
- ^ Errington 1990, hlm. 2.
- ^ Thomas 2010, hlm. 67–68, 74–78.
- ^ Lewis & Boardman 1994, hlm. 723–724, lihat pula Hatzopoulos 1996, hlm. 105–108 untuk melihat informasi mengenai bagaimana orang Makedonia mengusir para penduduk asli seperti orang-orang Frigia.
- ^ Anson 2010, hlm. 5–6.
- ^ Olbrycht 2010, hlm. 344; Sprawski 2010, hlm. 135–137; Errington 1990, hlm. 9–10.
- ^ Olbrycht 2010, hlm. 343–344; Sprawski 2010, hlm. 137; Errington 1990, hlm. 10.
- ^ King 2010, hlm. 376; Olbrycht 2010, hlm. 344–345; Sprawski 2010, hlm. 138–139.
- ^ Sprawski 2010, hlm. 139–140.
- ^ Olbrycht 2010, hlm. 345; Sprawski 2010, hlm. 139–141; lihat pula Errington 1990, hlm. 11–12 untuk penjelasan lebih lanjut.
- ^ Sprawski 2010, hlm. 141–143; Errington 1990, hlm. 9, 11–12.
- ^ Roisman 2010, hlm. 145–147.
- ^ Roisman 2010, hlm. 146–147; Müller 2010, hlm. 171; Cawkwell 1978, hlm. 72; lihat pula Errington 1990, hlm. 13–14 untuk penjelasan lebih lanjut.
- ^ a b c Roisman 2010, hlm. 146–147.
- ^ Roisman 2010, hlm. 146–147; lihat pula Errington 1990, hlm. 18 untuk penjelasan lebih lanjut.
- ^ Roisman 2010, hlm. 147–148; Errington 1990, hlm. 19–20.
- ^ Roisman 2010, hlm. 149.
- ^ Roisman 2010, hlm. 149–150; Errington 1990, hlm. 20.
- ^ Roisman 2010, hlm. 150; Errington 1990, hlm. 20.
- ^ Roisman 2010, hlm. 150–151; Errington 1990, hlm. 21–22.
- ^ Roisman 2010, hlm. 151–152; Errington 1990, hlm. 21–22.
- ^ Roisman 2010, hlm. 152; Errington 1990, hlm. 22.
- ^ Roisman 2010, hlm. 152–153; Errington 1990, hlm. 22–23.
- ^ Roisman 2010, hlm. 153; Errington 1990, hlm. 22–23.
- ^ Roisman 2010, hlm. 153–154; lihat pula Errington 1990, hlm. 23 untuk penjelasan lebih lanjut.
- ^ Roisman 2010, hlm. 154; lihat pula Errington 1990, hlm. 23 untuk penjelasan lebih lanjut.
- ^ Roisman 2010, hlm. 154; Errington 1990, hlm. 23–24.
- ^ Roisman 2010, hlm. 154–155; Errington 1990, hlm. 24.
- ^ Roisman 2010, hlm. 155–156.
- ^ Roisman 2010, hlm. 156; Errington 1990, hlm. 26.
- ^ a b Roisman 2010, hlm. 156–157.
- ^ Roisman 2010, hlm. 156–157; Errington 1990, hlm. 26.
- ^ Roisman 2010, hlm. 157–158; Errington 1990, hlm. 28–29.
- ^ Roisman 2010, hlm. 158; Errington 1990, hlm. 28–29.
- ^ Roisman 2010, hlm. 159; lihat pula Errington 1990, hlm. 30 untuk penjelasan lebih lanjut.
- ^ Roisman 2010, hlm. 159–160; Errington 1990, hlm. 32–33.
- ^ Roisman 2010, hlm. 161; Errington 1990, hlm. 34–35.
- ^ Roisman 2010, hlm. 161–162; Errington 1990, hlm. 35–36.
- ^ Roisman 2010, hlm. 162–163; Errington 1990, hlm. 36.
- ^ Roisman 2010, hlm. 162–163.
- ^ Roisman 2010, hlm. 163–164; Errington 1990, hlm. 37.
- ^ Müller 2010, hlm. 166–167; Buckley 1996, hlm. 467–472.
- ^ Müller 2010, hlm. 167–168; Buckley 1996, hlm. 467–472.
- ^ Müller 2010, hlm. 167–168; Buckley 1996, hlm. 467–472; Errington 1990, hlm. 38.
- ^ Müller 2010, hlm. 167.
- ^ Müller 2010, hlm. 168.
- ^ Müller 2010, hlm. 168–169.
- ^ Müller 2010, hlm. 169.
- ^ Müller 2010, hlm. 170; Buckler 1989, hlm. 62.
- ^ Müller 2010, hlm. 170–171; Gilley & Worthington 2010, hlm. 187.
- ^ Müller 2010, hlm. 167, 169; Roisman 2010, hlm. 161.
- ^ Müller 2010, hlm. 169, 173–174; Cawkwell 1978, hlm. 84; Errington 1990, hlm. 38–39.
- ^ Müller 2010, hlm. 171; Buckley 1996, hlm. 470–472; Cawkwell 1978, hlm. 74–75.
- ^ Müller 2010, hlm. 172; Hornblower 2002, hlm. 272; Cawkwell 1978, hlm. 42; Buckley 1996, hlm. 470–472.
- ^ Müller 2010, hlm. 171–172; Buckler 1989, hlm. 8, 20–22, 26–29.
- ^ Müller 2010, hlm. 173; Cawkwell 1978, hlm. 62, 66–68; Buckler 1989, hlm. 74–75, 78–80; Worthington 2008, hlm. 61–63.
- ^ Müller 2010, hlm. 173; Cawkwell 1978, hlm. 44; Schwahn 1931, col. 1193–1194.
- ^ Cawkwell 1978, hlm. 86.
- ^ Müller 2010, hlm. 173–174; Cawkwell 1978, hlm. 85–86; Buckley 1996, hlm. 474–475.
- ^ Müller 2010, hlm. 173–174; Worthington 2008, hlm. 75–78; Cawkwell 1978, hlm. 96–98.
- ^ Müller 2010, hlm. 174; Cawkwell 1978, hlm. 98–101.
- ^ Müller 2010, hlm. 174–175; Cawkwell 1978, hlm. 95, 104, 107–108; Hornblower 2002, hlm. 275–277; Buckley 1996, hlm. 478–479.
- ^ Müller 2010, hlm. 175.
- ^ Errington 1990, hlm. 227.
- ^ Müller 2010, hlm. 175–176; Cawkwell 1978, hlm. 114–117; Hornblower 2002, hlm. 277; Buckley 1996, hlm. 482; Errington 1990, hlm. 44.
- ^ Mollov & Georgiev 2015, hlm. 76.
- ^ Müller 2010, hlm. 176; Cawkwell 1978, hlm. 136–142; Errington 1990, hlm. 82–83.
- ^ Müller 2010, hlm. 176–177; Cawkwell 1978, hlm. 143–148.
- ^ Müller 2010, hlm. 177; Cawkwell 1978, hlm. 167–168.
- ^ Müller 2010, hlm. 177–179; Cawkwell 1978, hlm. 167–171; lihat pula Hammond & Walbank 2001, hlm. 16 untuk penjelasan selengkapnya.
- ^ Olbrycht 2010, hlm. 348, 351
- ^ Olbrycht 2010, hlm. 347–349
- ^ Olbrycht 2010, hlm. 351
- ^ a b Müller 2010, hlm. 179–180; Cawkwell 1978, hlm. 170.
- ^ Müller 2010, hlm. 180–181; lihat pula Hammond & Walbank 2001, hlm. 14 untuk penjelasan selengkapnya.
- ^ Müller 2010, hlm. 181–182; Errington 1990, hlm. 44; Gilley & Worthington 2010, hlm. 186; lihat Hammond & Walbank 2001, hlm. 3–5 untuk penjelasan soal penangkapan dan pengadilan tersangka lainnya dalam persekongkolan pembunuhan Filipos II dari Makedonia.
- ^ Gilley & Worthington 2010, hlm. 190; Müller 2010, hlm. 183; Renault 2001, hlm. 61–62; Fox 1980, hlm. 72; lihat pula Hammond & Walbank 2001, hlm. 3–5 untuk penjelasan selengkapnya.
- ^ Gilley & Worthington 2010, hlm. 186.
- ^ Gilley & Worthington 2010, hlm. 190.
- ^ Gilley & Worthington 2010, hlm. 190–191; see also Hammond & Walbank 2001, hlm. 15–16 for further details.
- ^ Gilley & Worthington 2010, hlm. 191; Hammond & Walbank 2001, hlm. 34–38.
- ^ Gilley & Worthington 2010, hlm. 191; Hammond & Walbank 2001, hlm. 40–47.
- ^ Gilley & Worthington 2010, hlm. 191; lihat pula Errington 1990, hlm. 91 dan Hammond & Walbank 2001, hlm. 47 untuk penjelasan selengkapnya.
- ^ Gilley & Worthington 2010, hlm. 191–192; lihat pula Errington 1990, hlm. 91–92 untuk penjelasan selengkapnya.
- ^ Gilley & Worthington 2010, hlm. 192–193.
- ^ a b c Gilley & Worthington 2010, hlm. 193.
- ^ Gilley & Worthington 2010, hlm. 193–194; Holt 2012, hlm. 27–41.
- ^ Gilley & Worthington 2010, hlm. 193–194.
- ^ Gilley & Worthington 2010, hlm. 194; Errington 1990, hlm. 113.
- ^ a b Gilley & Worthington 2010, hlm. 195.
- ^ Gilley & Worthington 2010, hlm. 194–195.
- ^ Errington 1990, hlm. 105–106.
- ^ Gilley & Worthington 2010, hlm. 198.
- ^ Holt 1989, hlm. 67–68.
- ^ Gilley & Worthington 2010, hlm. 196.
- ^ Gilley & Worthington 2010, hlm. 199; Errington 1990, hlm. 93.
- ^ Gilley & Worthington 2010, hlm. 200–201; Errington 1990, hlm. 58.
- ^ Gilley & Worthington 2010, hlm. 201.
- ^ Gilley & Worthington 2010, hlm. 201–203.
- ^ Gilley & Worthington 2010, hlm. 204; lihat pula Errington 1990, hlm. 44 untuk penjelasan selengkapnya.
- ^ Gilley & Worthington 2010, hlm. 204; lihat pula Errington 1990, hlm. 115–117 untuk penjelasan selengkapnya.
- ^ Gilley & Worthington 2010, hlm. 204; Adams 2010, hlm. 209; Errington 1990, hlm. 69–70, 119.
- ^ Gilley & Worthington 2010, hlm. 204–205; Adams 2010, hlm. 209–210; Errington 1990, hlm. 69, 119.
- ^ Gilley & Worthington 2010, hlm. 205; lihat pula Errington 1990, hlm. 118 untuk penjelasan selengkapnya.
- ^ Adams 2010, hlm. 208–209; Errington 1990, hlm. 117.
- ^ Adams 2010, hlm. 210–211; Errington 1990, hlm. 119–120.
- ^ Adams 2010, hlm. 211; Errington 1990, hlm. 120–121.
- ^ Adams 2010, hlm. 211–212; Errington 1990, hlm. 121–122.
- ^ Adams 2010, hlm. 207 n. #1, 212; Errington 1990, hlm. 122–123.
- ^ Adams 2010, hlm. 212–213; Errington 1990, hlm. 124–126.
- ^ a b Adams 2010, hlm. 213; Errington 1990, hlm. 126–127.
- ^ Adams 2010, hlm. 213–214; Errington 1990, hlm. 127–128.
- ^ Adams 2010, hlm. 214; Errington 1990, hlm. 128–129.
- ^ Adams 2010, hlm. 214–215.
- ^ Adams 2010, hlm. 215.
- ^ Adams 2010, hlm. 215–216.
- ^ Adams 2010, hlm. 216.
- ^ Adams 2010, hlm. 216–217; Errington 1990, hlm. 129.
- ^ Adams 2010, hlm. 217; Errington 1990, hlm. 145.
- ^ Adams 2010, hlm. 217; Errington 1990, hlm. 145–147; Bringmann 2007, hlm. 61.
- ^ a b c d Adams 2010, hlm. 218.
- ^ a b Bringmann 2007, hlm. 61.
- ^ Adams 2010, hlm. 218; Errington 1990, hlm. 153.
- ^ a b Adams 2010, hlm. 218–219; Bringmann 2007, hlm. 61.
- ^ Adams 2010, hlm. 219; Bringmann 2007, hlm. 61; Errington 1990, hlm. 156–157.
- ^ Adams 2010, hlm. 219; Bringmann 2007, hlm. 61–63; Errington 1990, hlm. 159–160.
- ^ Errington 1990, hlm. 160.
- ^ Errington 1990, hlm. 160–161.
- ^ Adams 2010, hlm. 219; Bringmann 2007, hlm. 63; Errington 1990, hlm. 162–163.
- ^ a b Adams 2010, hlm. 219–220; Bringmann 2007, hlm. 63.
- ^ Adams 2010, hlm. 219–220; Bringmann 2007, hlm. 63; Errington 1990, hlm. 164.
- ^ Adams 2010, hlm. 220; Errington 1990, hlm. 164–165.
- ^ Adams 2010, hlm. 220.
- ^ Adams 2010, hlm. 220; Bringmann 2007, hlm. 63; Errington 1990, hlm. 167.
- ^ Adams 2010, hlm. 220; Errington 1990, hlm. 165–166.
- ^ Adams 2010, hlm. 221; lihat pula Errington 1990, hlm. 167–168 tentang kebangkitan kembali Sparta di bawah kepemimpinan Areus I.
- ^ Adams 2010, hlm. 221; Errington 1990, hlm. 168.
- ^ Adams 2010, hlm. 221; Errington 1990, hlm. 168–169.
- ^ Adams 2010, hlm. 221; Errington 1990, hlm. 169–171.
- ^ Adams 2010, hlm. 221.
- ^ a b Adams 2010, hlm. 222.
- ^ Adams 2010, hlm. 221–222; Errington 1990, hlm. 172.
- ^ Adams 2010, hlm. 222; Errington 1990, hlm. 172–173.
- ^ Adams 2010, hlm. 222; Errington 1990, hlm. 173.
- ^ Adams 2010, hlm. 222; Errington 1990, hlm. 174.
- ^ Adams 2010, hlm. 223; Errington 1990, hlm. 173–174.
- ^ a b Adams 2010, hlm. 223; Errington 1990, hlm. 174.
- ^ Adams 2010, hlm. 223; Errington 1990, hlm. 174–175.
- ^ Adams 2010, hlm. 223; Errington 1990, hlm. 175–176.
- ^ Adams 2010, hlm. 223–224; Eckstein 2013, hlm. 314; lihat pula Errington 1990, hlm. 179–180 untuk penjelasan selengkapnya.
- ^ Adams 2010, hlm. 223–224; Eckstein 2013, hlm. 314; Errington 1990, hlm. 180–181.
- ^ Adams 2010, hlm. 224; Eckstein 2013, hlm. 314; Errington 1990, hlm. 181–183.
- ^ Adams 2010, hlm. 224; lihat pula Errington 1990, hlm. 182 tentang pendudukan militer Sparta oleh Makedonia seusai Pertempuran Selasia.
- ^ Adams 2010, hlm. 224; Errington 1990, hlm. 183–184.
- ^ Eckstein 2010, hlm. 229; Errington 1990, hlm. 184–185.
- ^ Eckstein 2010, hlm. 229; Errington 1990, hlm. 185–186, 189.
- ^ Eckstein 2010, hlm. 230; Errington 1990, hlm. 189–190.
- ^ Eckstein 2010, hlm. 230–231; Errington 1990, hlm. 190–191.
- ^ Bringmann 2007, hlm. 79; Eckstein 2010, hlm. 231; Errington 1990, hlm. 192; juga disebutkan oleh Gruen 1986, hlm. 19.
- ^ Bringmann 2007, hlm. 80; lihat pula Eckstein 2010, hlm. 231 dan Errington 1990, hlm. 191–193 untuk penjelasan selengkapnya.
- ^ Errington 1990, hlm. 191–193, 210.
- ^ Bringmann 2007, hlm. 82; Errington 1990, hlm. 193.
- ^ Bringmann 2007, hlm. 82; Eckstein 2010, hlm. 232–233; Errington 1990, hlm. 193–194; Gruen 1986, hlm. 17–18, 20.
- ^ Bringmann 2007, hlm. 83; Eckstein 2010, hlm. 233–234; Errington 1990, hlm. 195–196; Gruen 1986, hlm. 21; lihat pula Gruen 1986, hlm. 18–19 untuk melihat rincian perjanjian Liga Aitolia dengan Filipos V dari Makedonia dan bagaimana Romawi menolak permohonan bantuan Aitolia yang kedua, karena mereka merasa Aitolia telah melanggar perjanjian.
- ^ Bringmann 2007, hlm. 85; lihat pula Errington 1990, hlm. 196–197 untuk penjelasan selengkapnya.
- ^ Eckstein 2010, hlm. 234–235; Errington 1990, hlm. 196–198; lihat pula Bringmann 2007, hlm. 86 untuk penjelasan selengkapnya.
- ^ Bringmann 2007, hlm. 85–86; Eckstein 2010, hlm. 235–236; Errington 1990, hlm. 199–201; Gruen 1986, hlm. 22.
- ^ Bringmann 2007, hlm. 86; lihat pula Eckstein 2010, hlm. 235 untuk penjelasan selengkapnya.
- ^ Bringmann 2007, hlm. 86; Errington 1990, hlm. 197–198.
- ^ Bringmann 2007, hlm. 87.
- ^ Bringmann 2007, hlm. 87–88; Errington 1990, hlm. 199–200; lihat pula Eckstein 2010, hlm. 235–236 untuk penjelasan selengkapnya.
- ^ Eckstein 2010, hlm. 236.
- ^ a b Bringmann 2007, hlm. 88.
- ^ Bringmann 2007, hlm. 88; Eckstein 2010, hlm. 236; Errington 1990, hlm. 203.
- ^ Bringmann 2007, hlm. 88; Eckstein 2010, hlm. 236–237; Errington 1990, hlm. 204.
- ^ Bringmann 2007, hlm. 88–89; Eckstein 2010, hlm. 237.
- ^ Bringmann 2007, hlm. 89–90; lihat pula Eckstein 2010, hlm. 237 dan Gruen 1986, hlm. 20–21, 24 untuk penjelasan selengkapnya.
- ^ Bringmann 2007, hlm. 90–91; Eckstein 2010, hlm. 237–238.
- ^ Bringmann 2007, hlm. 91; Eckstein 2010, hlm. 238.
- ^ Bringmann 2007, hlm. 91–92; Eckstein 2010, hlm. 238; see also Gruen 1986, hlm. 30, 33 untuk penjelasan selengkapnya.
- ^ Bringmann 2007, hlm. 92; Eckstein 2010, hlm. 238.
- ^ Bringmann 2007, hlm. 97; lihat pula Errington 1990, hlm. 207–208 untuk penjelasan selengkapnya.
- ^ Bringmann 2007, hlm. 97; Eckstein 2010, hlm. 240–241; lihat pula Errington 1990, hlm. 211–213 untuk pembahasan tentang tindakan Perseus pada awal masa pemerintahannya.
- ^ Bringmann 2007, hlm. 97–98; Eckstein 2010, hlm. 240.
- ^ Bringmann 2007, hlm. 98; Eckstein 2010, hlm. 240; Errington 1990, hlm. 212–213.
- ^ Bringmann 2007, hlm. 98–99; Eckstein 2010, hlm. 241–242.
- ^ Bringmann 2007, hlm. 99; Eckstein 2010, hlm. 243–244; Errington 1990, hlm. 215–216; Hatzopoulos 1996, hlm. 43.
- ^ Bringmann 2007, hlm. 99; Eckstein 2010, hlm. 245; Errington 1990, hlm. 204–205, 216; lihat pula Hatzopoulos 1996, hlm. 43 untuk penjelasan selengkapnya.
- ^ a b Bringmann 2007, hlm. 99–100; Eckstein 2010, hlm. 245; Errington 1990, hlm. 216–217; lihat pula Hatzopoulos 1996, hlm. 43–46 untuk penjelasan selengkapnya.
- ^ Bringmann 2007, hlm. 104; Eckstein 2010, hlm. 246–247.
- ^ Bringmann 2007, hlm. 104–105; Eckstein 2010, hlm. 247; Errington 1990, hlm. 216–217.
- ^ Bringmann 2007, hlm. 104–105; Eckstein 2010, hlm. 247–248; Errington 1990, hlm. 203–205, 216–217.
- ^ King 2010, hlm. 374; lihat pula Errington 1990, hlm. 220–221 untuk penjelasan selengkapnya.
- ^ King 2010, hlm. 373.
- ^ King 2010, hlm. 375–376.
- ^ King 2010, hlm. 376–377.
- ^ King 2010, hlm. 377.
- ^ a b King 2010, hlm. 378.
- ^ King 2010, hlm. 379.
- ^ a b c Errington 1990, hlm. 222.
- ^ a b King 2010, hlm. 380.
- ^ King 2010, hlm. 380; untuk konteks selengkapnya, lihat Errington 1990, hlm. 220.
- ^ Olbrycht 2010, hlm. 345–346.
- ^ a b c d King 2010, hlm. 381.
- ^ Sawada 2010, hlm. 403.
- ^ Sawada 2010, hlm. 404–405.
- ^ Sawada 2010, hlm. 405
- ^ Sawada 2010, hlm. 405–406
- ^ Sawada 2010, hlm. 406
- ^ King 2010, hlm. 382; Errington 1990, hlm. 220.
- ^ Sawada 2010, hlm. 382–383.
- ^ Hammond & Walbank 2001, hlm. 5, 12.
- ^ King 2010, hlm. 384–389; Errington 1990, hlm. 220.
- ^ King 2010, hlm. 383–384; Errington 1990, hlm. 220.
- ^ King 2010, hlm. 390.
- ^ Amemiya 2007, hlm. 11–12.
- ^ a b Errington 1990, hlm. 231.
- ^ Errington 1990, hlm. 229–230.
- ^ Errington 1990, hlm. 230.
- ^ Errington 1990, hlm. 231–232.
- ^ Hatzopoulos 1996, hlm. 365–366.
- ^ Hatzopoulos 1996, hlm. 366–367.
- ^ Hatzopoulos 1996, hlm. 367–369.
- ^ Hatzopoulos 1996, hlm. 368–369.
- ^ Errington 1990, hlm. 242.
- ^ Sekunda 2010, hlm. 447; Errington 1990, hlm. 243–244.
- ^ Sekunda 2010, hlm. 447–448.
- ^ Sekunda 2010, hlm. 448–449; lihat pula Errington 1990, hlm. 238–239 untuk penjelasan selengkapnya.
- ^ Errington 1990, hlm. 238–239; 243–244.
- ^ Sekunda 2010, hlm. 449.
- ^ Sekunda 2010, hlm. 448–449.
- ^ Errington 1990, hlm. 239–240.
- ^ Errington 1990, hlm. 238; 247.
- ^ a b Sekunda 2010, hlm. 451.
- ^ Sekunda 2010, hlm. 450; Errington 1990, hlm. 244.
- ^ a b Sekunda 2010, hlm. 452.
- ^ Sekunda 2010, hlm. 451; Errington 1990, hlm. 241–242.
- ^ Sekunda 2010, hlm. 449–451.
- ^ Sekunda 2010, hlm. 451; Errington 1990, hlm. 247–248; Hammond & Walbank 2001, hlm. 24–26.
- ^ Sekunda 2010, hlm. 453.
- ^ a b Sekunda 2010, hlm. 454.
- ^ Sekunda 2010, hlm. 455; Errington 1990, hlm. 245.
- ^ a b Sekunda 2010, hlm. 458–459.
- ^ Sekunda 2010, hlm. 461.
- ^ a b Sekunda 2010, hlm. 460.
- ^ Sekunda 2010, hlm. 462.
- ^ Sekunda 2010, hlm. 463–464.
- ^ Errington 1990, hlm. 247–248.
- ^ a b c d Errington 1990, hlm. 248.
- ^ Anson 2010, hlm. 17, n. 57, n. 58; Woodard 2010, hlm. 9–10; Hatzopoulos 2011a, hlm. 43–45; Engels 2010, hlm. 94–95.
- ^ Engels 2010, hlm. 95.
- ^ Engels 2010, hlm. 94.
- ^ Sansone 2017, hlm. 223.
- ^ Anson 2010, hlm. 17–18; lihat pula Christesen & Murray 2010, hlm. 428–445 untuk informasi mengenai bagaimana kepercayaan keagamaan Makedonia berbeda dari politeisme Yunani pada umumnya, meskipun politeisme Yunani sendiri tidak bersifat "monolitik" pada masa Yunani Klasik dan Helenistik, dan orang Makedonia sendiri merupakan "orang Yunani secara bahasa dan budaya" menurut Christesen dan Murray.Christesen & Murray 2010, hlm. 428–429.
- ^ Errington 1990, hlm. 225–226.
- ^ Errington 1990, hlm. 226; Christesen & Murray 2010, hlm. 430–431
- ^ a b Errington 1990, hlm. 226.
- ^ Borza 1992, hlm. 257–260; Christesen & Murray 2010, hlm. 432–433; lihat pula Hammond & Walbank 2001, hlm. 5–7 untuk penjelasan selengkapnya.
- ^ Borza 1992, hlm. 259–260; lihat pula Hammond & Walbank 2001, hlm. 5–6 untuk penjelasan selengkapnya.
- ^ Borza 1992, hlm. 257, 260–261.
- ^ Borza 1992, hlm. 257.
- ^ Sansone 2017, hlm. 224–225.
- ^ Hatzopoulos 2011a, hlm. 47–48; Errington 1990, hlm. 7.
- ^ Hatzopoulos 2011a, hlm. 48; Errington 1990, hlm. 7–8; 222–223.
- ^ Hatzopoulos 2011a, hlm. 48.
- ^ Anson 2010, hlm. 9–10.
- ^ a b c Anson 2010, hlm. 10.
- ^ Anson 2010, hlm. 10–11.
- ^ Hammond & Walbank 2001, hlm. 12–13.
- ^ Hardiman 2010, hlm. 515.
- ^ Hardiman 2010, hlm. 515–517.
- ^ a b Hardiman 2010, hlm. 517.
- ^ Palagia 2000, hlm. 182, 185–186.
- ^ Head 2016, hlm. 12–13; Piening 2013, hlm. 1182.
- ^ Head 2016, hlm. 13; Aldrete, Bartell & Aldrete 2013, hlm. 49.
- ^ a b c d Hardiman 2010, hlm. 518.
- ^ Müller 2010, hlm. 182.
- ^ a b c Errington 1990, hlm. 224.
- ^ a b c Worthington 2014, hlm. 186.
- ^ Worthington 2014, hlm. 185.
- ^ a b Worthington 2014, hlm. 183, 186.
- ^ Hatzopoulos 2011b, hlm. 58; Roisman 2010, hlm. 154; Errington 1990, hlm. 223–224.
- ^ Hatzopoulos 2011b, hlm. 58–59; lihat pula Errington 1990, hlm. 224 untuk penjelasan selengkapnya.
- ^ Chroust 2016, hlm. 137.
- ^ Rhodes 2010, hlm. 23.
- ^ Rhodes 2010, hlm. 23–25; lihat pula Errington 1990, hlm. 224 untuk penjelasan selengkapnya.
- ^ a b Errington 1990, hlm. 225.
- ^ Badian 1982, hlm. 34, Anson 2010, hlm. 16; Sansone 2017, hlm. 222–223.
- ^ Hatzopoulos 2011b, hlm. 59.
- ^ Nawotka 2010, hlm. 2.
- ^ Anson 2010, hlm. 19
- ^ Cohen 2010, hlm. 28.
- ^ a b c Dalby 1997, hlm. 157.
- ^ Dalby 1997, hlm. 155–156.
- ^ Dalby 1997, hlm. 156.
- ^ Dalby 1997, hlm. 156–157.
- ^ Anson 2010, hlm. 10; Cohen 2010, hlm. 28.
- ^ Engels 2010, hlm. 87; Olbrycht 2010, hlm. 343–344.
- ^ Badian 1982, hlm. 51, n. 72; Johannes Engels telah merumuskan kesimpulan yang serupa. Lihat: Engels 2010, hlm. 82.
- ^ Sakellariou 1983, hlm. 52.
- ^ Hatzopoulos 2011b, hlm. 74.
- ^ Bolman 2016, hlm. 120–121.
- ^ a b c Winter 2006, hlm. 163.
- ^ Winter 2006, hlm. 164–165.
- ^ Winter 2006, hlm. 165.
- ^ Errington 1990, hlm. 227; lihat pula Hammond & Walbank 2001, hlm. 3, 7–8 untuk penjelasan selengkapnya.
- ^ Koumpis 2012, hlm. 34.
- ^ Treister 1996, hlm. 375–376.
- ^ Humphrey, Oleson & Sherwood 1998, hlm. 570.
- ^ Treister 1996, hlm. 376, no. 531.
- ^ a b Treister 1996, hlm. 376.
- ^ a b Humphrey, Oleson & Sherwood 1998, hlm. 570–571.
- ^ Humphrey, Oleson & Sherwood 1998, hlm. 570–572.
- ^ Curtis 2008, hlm. 380.
- ^ Stern 2008, hlm. 530–532.
- ^ Cuomo 2008, hlm. 17–20.
- ^ Errington 1990, hlm. 246.
- ^ Treister 1996, hlm. 379.
- ^ Meadows 2008, hlm. 773.
- ^ Hatzopoulos 1996, hlm. 432–433.
- ^ Kremydi 2011, hlm. 163.
- ^ Hatzopoulos 1996, hlm. 433.
- ^ Hatzopoulos 1996, hlm. 434.
- ^ Hatzopoulos 1996, hlm. 433–434; Roisman 2010, hlm. 163.
- ^ Treister 1996, hlm. 373–375; lihat pula Errington 1990, hlm. 223 untuk penjelasan selengkapnya.
- ^ Treister 1996, hlm. 374–375; lihat pula Errington 1990, hlm. 223 untuk penjelasan selengkapnya.
- ^ Treister 1996, hlm. 374.
- ^ Treister 1996, hlm. 374–375.
- ^ Anson 2010, hlm. 3–4.
- ^ Anson 2010, hlm. 4–5.
- ^ Errington 1990, hlm. 249.
- ^ Asirvatham 2010, hlm. 104.
- ^ Anson 2010, hlm. 9.
- ^ Anson 2010, hlm. 11–12.
- ^ Errington 1990, hlm. 219–220.
- ^ Christesen & Murray 2010, hlm. 435–436.
- ^ Christesen & Murray 2010, hlm. 436.
- ^ Anson 2010, hlm. 3.
Daftar pustaka
Daring
- "Macedonia: Ancient Kingdom, Europe". Encyclopædia Britannica. Encyclopædia Britannica Online. 23 October 2015. Diakses tanggal 5 February 2017.
- Hamp, Eric; Adams, Douglas (2013). "The Expansion of the Indo-European Languages", Sino-Platonic Papers, vol 239. Accessed 16 January 2017.
- Joseph, Brian D. (2001). ""GREEK, ancient." Ohio State University, Department of Slavic Languages and Literatures. Accessed 16 January 2017.
- Liddell, Henry George; Scott, Robert. (1940). "μακεδνός," in Jones, Henry Stuart; McKenzie, Roderick. A Greek-English Lexicon. Oxford: Clarendon Press. Accessed online at Crane, Gregory R. (ed), The Perseus Digitial Library. Tufts University. Accessed 2 February 2017.
- Liddell, Henry George; Scott, Robert. (1940). "μάκρος," in Jones, Henry Stuart; McKenzie, Roderick. A Greek-English Lexicon. Oxford: Clarendon Press. Accessed online at Crane, Gregory R. (ed), The Perseus Digitial Library. Tufts University. Accessed 2 February 2017.
Cetak
- Adams, Winthrop Lindsay (2010). "Alexander's Successors to 221 BC". Dalam Roisman, Joseph; Worthington, Ian. A Companion to Ancient Macedonia. Oxford: Wiley-Blackwell. hlm. 208–224. ISBN 978-1-4051-7936-2.
- Aldrete, Gregory S.; Bartell, Scott; Aldrete, Alicia (2013). Reconstructing Ancient Linen Body Armor: Unraveling the Linothorax Mystery. Baltimore: Johns Hopkins University Press. ISBN 978-1-4214-0819-4.
- Amemiya, Takeshi (2007). Economy and Economics of Ancient Greece. London: Routledge. ISBN 0-415-70154-6.
- Anson, Edward M. (2010). "Why Study Ancient Macedonia and What This Companion is About". Dalam Roisman, Joseph; Worthington, Ian. A Companion to Ancient Macedonia. Oxford: Wiley-Blackwell. hlm. 3–20. ISBN 978-1-4051-7936-2.
- Austin, M. M. (2006). The Hellenistic World from Alexander to the Roman Conquest: a selection of ancient sources in translation (edisi ke-2nd). Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 0-7414-2300-6.
- Badian, Ernst (1982). "Greeks and Macedonians". Studies in the History of Art. National Gallery of Art. 10, Symposium Series I: 33–51. JSTOR 42617918.
- Beekes, Robert (2010). Etymological Dictionary of Greek. 2. Leiden: Brill. ISBN 978-90-04-17418-4.
- Bolman, Elizabeth S. (2016). "A Staggering Spectacle: Early Byzantine Aesthetics in the Triconch". Dalam Bolman, Elizabeth S. The Red Monastery Church: Beauty and Asceticism in Upper Egypt. New Haven: Yale University Press; American Research Center in Egypt, Inc. hlm. 119–128. ISBN 978-0-300-21230-3.
- Borza, Eugene N. (1992) [1990]. In the Shadow of Olympus: the Emergence of Macedon. Princeton: Princeton University Press. ISBN 0-691-05549-1.
- Borza, Eugene N. (1995). Makedonika. Regina Books. ISBN 0-941690-65-2.
- Bringmann, Klaus (2007) [2002]. A History of the Roman Republic (dalam bahasa English). Diterjemahkan oleh W. J. Smyth. Cambridge: Polity Press. ISBN 0-7456-3371-4.
- Buckley, Terry (1996). Aspects of Greek History, 750–323 BC: A Source-based Approach. London: Routledge. ISBN 0-415-09957-9.
- Buckler, John (1989). Philip II and the Sacred War. Leiden: Brill. ISBN 978-90-04-09095-8.
- Cawkwell, George (1978). Philip of Macedon. London, UK: Faber and Faber. ISBN 0-571-10958-6.
- Champion, Craige B. (2004). Cultural Politics in Polybius's Histories. University of California Press. ISBN 0-520-23764-1.
- Chroust, Anton-Hermann (2016) [1977]. Aristotle: New Light on His Life and On Some of His Lost Works, Volume 1: Some Novel Interpretations of the Man and His Life. London: Routledge. ISBN 978-1-138-93706-2.
- Cohen, Ada (2010). Art in the Era of Alexander the Great: Paradigms of Manhood and Their Cultural Traditions. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-76904-4.
- Cuomo, Serafina (2008). "Ancient Written Sources for Engineering and Technology". Dalam Oleson, John Peter. The Oxford Handbook of Engineering and Technology in the Classical World. Oxford: Oxford University Press. hlm. 15–34. ISBN 978-0-19-518731-1.
- Curtis, Robert I. (2008). "Food Processing and Preparation". Dalam Oleson, John Peter. The Oxford Handbook of Engineering and Technology in the Classical World. Oxford: Oxford University Press. hlm. 369–392. ISBN 978-0-19-518731-1.
- Dalby, Andrew (1997) [1996]. Siren Feasts: a History of Food and Gastronomy in Greece. London: Routledge. ISBN 0-415-15657-2.
- de Francisci, Pietro (1948). Arcana Imperii II (dalam bahasa Italian). 1. Milan: A. Giuffrè. hlm. IV–495.
- Eckstein, Arthur M. (2010). "Macedonia and Rome, 221–146 BC". Dalam Roisman, Joseph; Worthington, Ian. A Companion to Ancient Macedonia. Oxford: Wiley-Blackwell. hlm. 225–250. ISBN 978-1-4051-7936-2.
- Eckstein, Arthur M. (2013). "Polybius, Phylarchus, and Historiographical Criticism". Classical Philology. The University of Chicago Press. 108 (4): 314–338. JSTOR 671786.
- Engels, Johannes (2010). "Macedonians and Greeks". Dalam Roisman, Joseph; Worthington, Ian. A Companion to Ancient Macedonia. Oxford: Wiley-Blackwell. hlm. 81–98. ISBN 978-1-4051-7936-2.
- Errington, Robert Malcolm (1990). A History of Macedonia. Diterjemahkan oleh Catherine Errington. Berkeley: University of California Press. ISBN 0-520-06319-8.
- Errington, Malcolm (1994). A History of Macedonia. Barnes Noble. ISBN 1-56619-519-5.
- Fox, Robin Lane (1980). The Search for Alexander. Boston: Little Brown and Co. ISBN 0-316-29108-0.
- Fox, Robin Lane (1986) [1973]. Alexander the Great. New York: Penguin Books. ISBN 978-0-14-008878-6.
- Georgiev, Vladimir (July 1966). "The Genesis of the Balkan Peoples". The Slavonic and East European Review. The Modern Humanities Research Association and University College London, School of Slavonic and East European Studies. 44 (103): 285–297. JSTOR 4205776.
- Gilley, Dawn L.; Worthington, Ian (2010). "Alexander the Great, Macedonia and Asia". Dalam Roisman, Joseph; Worthington, Ian. A Companion to Ancient Macedonia. Oxford: Wiley-Blackwell. hlm. 186–207. ISBN 978-1-4051-7936-2.
- Granier, Friedrich (1931). Die makedonische Heeresversammlung: ein Beitrag zum antiken Staatsrecht. Münchener Beiträge zur Papyrusforschung und antiken Rechtsgeschichte 13. Heft (dalam bahasa German). Munich: CH Beck Verlag.
- Gruen, Erich S. (1986) [1984]. The Hellenistic World and the Coming of Rome. 1. Berkeley: University of California Press. ISBN 0-520-05737-6.
- Hall, Jonathan M. (2000). Ethnic Identity in Greek Antiquity. Cambridge, UK: Cambridge University Press. ISBN 0-521-78999-0.
- Hamilton, J. R. (1974) [1973]. Alexander the Great. Pittsburgh, PA: University of Pittsburgh Press. ISBN 0-8229-6084-2.
- Hammond, Nicholas Geoffrey Lemprière; Walbank, Frank William (2001). A History of Macedonia: 336–167 B.C. 3 (edisi ke-reprint). Oxford: Clarendon Press of the Oxford University Press. ISBN 0-19-814815-1.
- Hardiman, Craig I. (2010). "Classical Art to 221 BC". Dalam Roisman, Joseph; Worthington, Ian. A Companion to Ancient Macedonia. Oxford: Wiley-Blackwell. hlm. 505–521. ISBN 978-1-4051-7936-2.
- Hatzopoulos, M. B. (1996). Macedonian Institutions Under the Kings: a Historical and Epigraphic Study. 1. Athens: Research Centre for Greek and Roman Antiquity, National Hellenic Research Foundation; Diffusion de Boccard. ISBN 960-7094-90-5.
- Hatzopoulos, M. B. (2011a). "Macedonia and Macedonians". Dalam Lane Fox, Robin J. Brill's Companion to Ancient Macedon: Studies in the Archaeology and History of Macedon, 650 BC – 300 AD. Leiden: Brill. hlm. 43–50. ISBN 978-90-04-20650-2.
- Hatzopoulos, M. B. (2011b). "Macedonians and Other Greeks". Dalam Lane Fox, Robin J. Brill's Companion to Ancient Macedon: Studies in the Archaeology and History of Macedon, 650 BC – 300 AD. Leiden: Brill. hlm. 51–78. ISBN 978-90-04-20650-2.
- Head, Duncan (2016) [1982]. Armies of the Macedonian and Punic Wars: 359 BC to 146 BC (edisi ke-reprint). Wargames Research Group Ltd. ISBN 978-1-326-25656-2.
- Hofmann, Johann Baptist (1950). Etymologisches Wörterbuch des Griechischen (dalam bahasa German). Munich: R. Oldenbourg.
- Holt, Frank L. (1989). Alexander the Great and Bactria: the Formation of a Greek Frontier in Central Asia. Leiden: Brill. ISBN 90-04-08612-9.
- Holt, Frank L. (2012) [2005]. Into the Land of Bones: Alexander the Great in Afghanistan. Berkeley: University of California Press. ISBN 978-0-520-27432-7.
- Hornblower, Simon (2002) [1983]. The Greek World, 479–323 BC. London: Routledge. ISBN 0-415-16326-9.
- Hornblower, Simon (2008). "Greek Identity in the Archaic and Classical Periods". Dalam Zacharia, Katerina. Hellenisms: Culture, Identity, and Ethnicity from Antiquity to Modernity. Aldershot: Ashgate Publishing. hlm. 37–58. ISBN 978-0-7546-6525-0.
- Humphrey, John W.; Oleson, John P.; Sherwood, Andrew N. (1998). Greek and Roman Technology: a Sourcebook: Annotated Translations of Greek and Latin Texts and Documents. London: Routledge. ISBN 0-415-06136-9.
- Joint Association of Classical Teachers (1984). The World of Athens: An Introduction to Classical Athenian Culture. Cambridge, UK: Cambridge University Press. ISBN 0-521-27389-7.
- King, Carol J. (2010). "Macedonian Kingship and Other Political Institutions". Dalam Roisman, Joseph; Worthington, Ian. A Companion to Ancient Macedonia. Oxford: Wiley-Blackwell. hlm. 373–391. ISBN 978-1-4051-7936-2.
- Koumpis, Adamantios (2012). Management Information Systems for Enterprise Applications: Business Issues, Research, and Solutions. Hershey, PA: Business Science Reference. ISBN 978-1-4666-0164-2.
- Kremydi, S. (2011). "Coinage and Finance". Dalam Lane Fox, Robin James. Brill's Companion to Ancient Macedon. Leiden: Brill. hlm. 159–178. ISBN 978-90-04-20650-2.
- Lewis, D.M.; Boardman, John (1994). The Cambridge Ancient History: The Fourth Century B.C. (Volume 6). Cambridge, UK: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-23348-4.
- Meadows, Andrew (2008). "Technologies of Calculation, Part 2: Coinage". Dalam Oleson, John Peter. The Oxford Handbook of Engineering and Technology in the Classical World. Oxford: Oxford University Press. hlm. 769–776. ISBN 978-0-19-518731-1.
- Mollov, Ivelin A.; Georgiev, Dilian G. (2015). "Plovdiv". Dalam Kelcey, John G. Vertebrates and Invertebrates of European Cities:Selected Non-Avian Fauna. New York: Springer. hlm. 75–94. ISBN 978-1-4939-1697-9.
- Müller, Sabine (2010). "Philip II". Dalam Roisman, Joseph; Worthington, Ian. A Companion to Ancient Macedonia. Oxford: Wiley-Blackwell. hlm. 166–185. ISBN 978-1-4051-7936-2.
- Nawotka, Krzysztof (2010). Alexander the Great. Newcastle Upon Tyne: Cambridge Scholars Publishing. ISBN 978-1-4438-1743-1.
- O'Brien, John Maxwell (1994) [1992]. Alexander the Great: The Invisible Enemy – A Biography. New York and London: Routledge (Taylor and Francis). ISBN 0-415-10617-6.
- Olbrycht, Marck Jan (2010). "Macedonia and Persia". Dalam Roisman, Joseph; Worthington, Ian. A Companion to Ancient Macedonia. Oxford: Wiley-Blackwell. hlm. 342–370. ISBN 978-1-4051-7936-2.
- O'Neil, James L. (2003). "The Ethnic Origins of the Friends of the Antigonid Kings of Macedon". The Classical Quarterly. 10 (2): 510–522. JSTOR 3556219.
- Osborne, Robin (2004). Greek History. New York: Routledge. ISBN 0-415-31717-7.
- Palagia, Olga (2000). "Hephaestion's Pyre and the Royal Hunt of Alexander". Dalam Bosworth, A. B.; Baynham, E. J. Alexander the Great in Fact and Fiction. Oxford: Oxford University Press. hlm. 167–198. ISBN 978-0-19-815287-3.
- Perlman, Samuel (1973). Philip and Athens. Cambridge, UK: Heffer. ISBN 0-85270-076-8.
- Piening, H. (2013). "Mobile UV-VIS Absorption Spectrometry Investigations in the "Alexander-Sarcophagus" in Istanbul". Dalam Büyüköztürk, Oral; Ali Taşdemir, Mehmet. Nondestructive Testing of Materials and Structures: Proceedings of NDTMS-2011, Istanbul Turkey, May 15–18 2011, Part 1. Heidelberg: RILEM and Springer. hlm. 1179–1186. ISBN 978-94-007-0722-1.
- Renault, Mary (2001) [1975]. The Nature of Alexander the Great. New York: Penguin. ISBN 0-14-139076-X.
- Rhodes, P. J. (2010). "The Literary and Epigraphic Evidence to the Roman Conquest". Dalam Roisman, Joseph; Worthington, Ian. A Companion to Ancient Macedonia. Oxford: Wiley-Blackwell. hlm. 23–40. ISBN 978-1-4051-7936-2.
- Roisman, Joseph (2010). "Classical Macedonia to Perdiccas III". Dalam Roisman, Joseph; Worthington, Ian. A Companion to Ancient Macedonia. Oxford: Wiley-Blackwell. hlm. 145–165. ISBN 978-1-4051-7936-2.
- Sakellariou, Michael B. (1983). "Inhabitants". Dalam Michael B. Sakellariou. Macedonia: 4000 Years of Greek History and Civilization. Athens: Ekdotike Athenon S.A. hlm. 44–63.
- Sansone, David (2017). Ancient Greek Civilization (edisi ke-3rd). Oxford: Wiley-Blackwell. ISBN 978-1-119-09815-7.
- Sawada, Noriko (2010). "Social Customs and Institutions: Aspects of Macedonian Elite Society". Dalam Roisman, Joseph; Worthington, Ian. A Companion to Ancient Macedonia. Oxford: Wiley-Blackwell. hlm. 392–408. ISBN 978-1-4051-7936-2.
- Sekunda, Nicholas Viktor (2010). "The Macedonian Army". Dalam Roisman, Joseph; Worthington, Ian. A Companion to Ancient Macedonia. Oxford: Wiley-Blackwell. hlm. 446–471. ISBN 978-1-4051-7936-2.
- Schwahn, Walther (1931). "Sympoliteia". Realencyclopädie der Classischen Altertumswissenschaft (dalam bahasa German). Band IV, Halbband 7, Stoa-Symposion. col. 1171–1266.
- Sprawski, Slawomir (2010). "The Early Temenid Kings to Alexander I". Dalam Roisman, Joseph; Worthington, Ian. A Companion to Ancient Macedonia. Oxford: Wiley-Blackwell. hlm. 127–144. ISBN 978-1-4051-7936-2.
- Stern, E. Marianne (2008). "Glass Production". Dalam Oleson, John Peter. The Oxford Handbook of Engineering and Technology in the Classical World. Oxford: Oxford University Press. hlm. 520–550. ISBN 978-0-19-518731-1.
- Thomas, Carol G. (2010). "The Physical Kingdom". Dalam Roisman, Joseph; Worthington, Ian. A Companion to Ancient Macedonia. Oxford: Wiley-Blackwell. hlm. 65–80. ISBN 978-1-4051-7936-2.
- Treister, Michail Yu (1996). The Role of Metals in Ancient Greek History. Leiden: Brill. ISBN 90-04-10473-9.
- Worthington, Ian (2008). Philip II of Macedonia. New Haven, CT: Yale University Press. ISBN 0-300-12079-6.
- Worthington, Ian (2012). Alexander the Great: a Reader (edisi ke-2nd). London: Routledge. ISBN 978-0-415-66742-5.
- Worthington, Ian (2014). By the Spear: Philip II, Alexander the Great, and the Rise and Fall of the Macedonian Empire. Oxford: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-992986-3.
- Woodard, Roger D. (2004). "Introduction". Dalam Woodard, Roger D. The Cambridge Encyclopedia of the World's Ancient Languages. Oxford: Cambridge University Press. hlm. 1–18. ISBN 978-0-521-56256-0.
- Woodard, Roger D. (2010) [2008]. "Language in Ancient Europe: an Introduction". Dalam Woodard, Roger D. The Ancient Languages of Europe. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 1–13. ISBN 978-0-521-68495-8.
- Winter, Frederick E. (2006). Studies in Hellenistic Architecture. Toronto: University of Toronto Press. ISBN 978-0-8020-3914-9.
- Zacharia, Katerina (2008). Hellenisms: Culture, Identity, and Ethnicity from Antiquity to Modernity. Hampshire: Ashgate Publishing Limited. ISBN 978-0-7546-6525-0.
Bacaan tambahan
- Autenrieth, Georg (1891). A Homeric Dictionary for Schools and Colleges. New York: Harper and Brothers.
- Bard, Kathryn A. (1999). Encyclopaedia of the Archaeology of Ancient Egypt. New York: Routledge. ISBN 978-1-134-66524-2.
- Borza, Eugene N. (1999). Before Alexander: Constructing Early Macedonia. Claremont, CA: Regina Books. ISBN 0-941690-97-0.
- Bryant, Joseph M. (1996). Moral Codes and Social Structure in Ancient Greece: A Sociology of Greek Ethics from Homer to the Epicureans and Stoics. Albany, NY: State University of New York Press. ISBN 0-7914-3042-1.
- Chamoux, François (2002). Hellenistic Civilization. Oxford, UK: Blackwell Publishing. ISBN 0-631-22241-3.
- Errington, Robert M. (1974). "Macedonian 'Royal Style' and Its Historical Significance". The Journal of Hellenic Studies. 94: 20–37. doi:10.2307/630417. JSTOR 630417.
- Fine, John Van Antwerp (1983). The Ancient Greeks: A Critical History. Cambridge, MA: Harvard University Press. ISBN 0-674-03314-0.
- Hammond, Nicholas Geoffrey Lemprière (2001). Collected Studies: Further Studies on Various Topics. Amsterdam: Hakkert.
- Hammond, Nicholas Geoffrey Lemprière (1993). Studies concerning Epirus and Macedonia before Alexander. Amsterdam: Hakkert.
- Hammond, Nicholas Geoffrey Lemprière (1989). The Macedonian State: Origins, Institutions, and History. Oxford, UK: Clarendon Press. ISBN 0-19-814883-6.
- Jones, Archer (2001). The Art of War in the Western World. Champaign, IL: University of Illinois Press. ISBN 0-252-06966-8.
- Levinson, David (1992). Encyclopedia of World Cultures. 1. Boston, MA: G.K. Hall. ISBN 978-0-8168-8840-5.
- Starr, Chester G. (1991). A History of the Ancient World. New York: Oxford University Press. ISBN 0-19-506628-6.
- Toynbee, Arnold Joseph (1981). The Greeks and Their Heritages. Oxford, UK: Oxford University Press.
- Wilcken, Ulrich (1967). Alexander the Great. New York: W.W. Norton and Company, Inc. ISBN 978-0-393-00381-9.
Pranala luar
- Makedonia Kuno Diarsipkan 2016-03-03 di Wayback Machine. di situs Livius, oleh Jona Lendering
- Dari Herakles hingga Aleksander Agung: Harta Karun dari Ibu Kota Kerajaan Makedonia, Sebuah Kerajaan Helenik pada Zaman Demokrasi, Museum Seni dan Arkeologi Ashmolea, Universitas Oxford
- "Macedonia, ancient kingdom", laman di situs Encyclopædia Britannica
- "The Rise of Macedonia and the Conquests of Alexander the Great", dari situs Museum Seni Metropolitan, garis waktu sejarah seni